16 Aug 2014

100 Tahun Terusan Panama



Tanggal 15 Agustus lalu adalah peringatan 100 tahun beroperasinya Terusan Panama. Terusan Panama adalah terusan yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik. Terusan sepanjang 77,1 kilometer ini dibangun dengan memotong daratan Panama dari Colon hingga Balboa.

Menurut situs ensiklopedi elektronik Wikipedia, Perancis mulai mengerjakan proyek ambisius ini pada 1881, namun pembangunan terusan ini tidak berlangsung lancar. Tingginya tingkat kematian dan penyakit membuat pembuatannya tersendat. Amerika Serikat kemudian mengambil alih pembangunan terusan ini dan ia membutuhkan waktu 10 tahun untuk merampungkan pembangunannya.

Pembangunan terusan ini memperpendek jalur pelayaran antara Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik. Sebelumnya Kapal harus memutar jauh ke bagian paling selatan Amerika Selatan, tepatnya di Tanjung Horn yang berbahaya. Pendeknya jarak sudah pasti sangat menguntungkan perusahaan pelayaran secara finansial. 





Pada awal beroperasi pada 1914, sebanyak 1000 kapal melintasi terusan ini setiap tahunya. Jumlah itu meningkat menjadi 14.702 per tahun pada 2008 dengan total angkutan sebanyak 309,6 juta ton. Hingga 2008, total sebanyak 815 ribu kapal yang melintasi terusan itu.

Sejak tahun 2007, pekerjaan untuk memperlebar Terusan menguras biaya hingga 5,2 miliar dollar AS. Pekerjan tersebut diharapkan selesai pada 2014. Dengan pelebaran itu, Terusan Panama dapat menampung kapal dengan ukuran dua kali ukuran maksimal yang sebelumnya diperbolehkan melewati Terusan tersebut.

Memperingati 100 tahun Terusan Panama, Pigijo menampilkan beberapa foto yang menampilkan salah satu keajaiban dunia modern.






Proses pembangunan Terusan Panama



Pemandangan dari menara observasi dimana tampakSungai Chagres, satu bagian dari Terusan Panama, Desa Indian Embera, dan Kota Gamboa yang dikelilingi oleh hutan lebat


Dam Gatun Lock di Terusan Panama pada awal abad 20



Kapal pesiar Europa melalui Terusan Panama




Gambar kapal pertama yang melalui Terusan Panama SS Ancon pada 15 Agustus 1914



Pintu air Pedro Miguel di Terusan Panama


Kapal kargo melintasi pintu air Miraflores


Jembatan Seabad Terusan Panama










 

Pengaruh istana dalam kehidupan sastra Raja Ali Haji





Raja Ali Haji tumbuh dalam lingkungan dengan budaya tulis menulis yang berakar kuat. Pembuatan naskah menjadi tradisi istana. Van der Putten dan Al Azhar dalam bukunya Dalam Perbekalan Persahabatan: Surat-Surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall menuliskan, para penulis dalam kerajaan Melayu khususnya di Pulau Penyengat membuat dan menyalin karya-karya berupa hikayat, syair, jenis prosa dan puisi Melayu yang membahas berbagai topik sebagai sarana hiburan dan pembelajaran bagi masyarakat. 

Dalam keluarga Ali Haji, keluarganya menjadi salah satu pendorong utama. 

"Besar kemungkinan Raja Ali Haji terdorong untuk menulis karena ayahnya juga gemar menulis. Ayahnya juga memiliki koleksi-koleksi bacaan yang dapat memancing minat Raja Ali Haji pada kegiatan menulis," kata Aswandi yang ditemui di Tanjungpinang, Rabu pekan lalu. 

Sebagai orang dalam istana, Raja Ali Haji mendapatkan pendidikan yang didapat anak-anak penghuni istana. Ulama-ulama yang datang ke Penyengat tidak saja menjadi sumber memahami agama Islam, tapi oleh Raja Ali Haji kesempatan itu digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasinya. 

Perjalanan ke Batavia dan Mekkah mendorong Ali Haji menuliskan pengalamannya di dua peristiwa itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafis. Perannya dalam pemerintahan dan ulama bagi masyarakat di Pulau Penyegat juga diyakini memberikan sumbangsih pada produktivitas Raja Ali Haji. Gurindam Dua Belas, misalnya, menerangkan ajaran-ajaran moral  yang berguna dalam hubungan sesama manusia atau antar manusia dengan Tuhannya. Sementara Thamra Tu Al-Muhammadiyafa menegaskan peran seorang raja yang jika tidak memerhatikan kebutuhan masyarakatnya tak dapat diterima sebagai penguasa lagi. 

Selain tradisi tulis menulis telah berakar di Pulau Penyengat, dorongan menghasilkan karya-karya tulis baik yang asli maupun salinan turut dipicu ketertarikan Belanda terhadap alam Melayu yang makin bertumbuh. Pemerintah Belanda kemudian membentuk Departemen Urusan Pribumi. Menurut Van der Putten dan Al Azhar, departemen itu bertugas mengumpulkan bahan-bahan tentang bahasa setempat. 

Bahasa Melayu mendapat tempat utama bagi Belanda. Naskah-naskah Melayu diperlukan sebagai bantuan bahan ajar pegawai pemerintahan di Hindia-Belanda. Ini membuat Residen Riau sibuk mencari bahan-bahan tentang masyarakat dalam lingkungan Kerajaan Riau-Lingga. Pada 1822-1826 misalnya, Residen Von Ranzow mengumpulkan dan menyusun silsilah keluarga diraja Riau. Sementara Residen Elout (1826-1830) mengupah beberapa juru tulis Melayu untuk menyalin naskah di kantornya di Tanjungpinang. 

"Puncak kegiatan pengumpulan naskah Melayu terjadi pada sekitar tahun 1860-an. Saat itu Von de Wall dan Klinkert mengumpulkan ratusan naskah untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan Melayu," tulis Van de Putten dan Al Azhar.(Yermia Riezky dan Fenny Ambaratih)

* Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos Edisi 45

Pilihan melepas penat di bagi masyarakat pulau Jawa yang sesak

Meski saat ini pulau Jawa begitu padat dengan penduduk, masih ada beberapa daerah di Pulau itu yang layak untuk dikunjungi untuk berwisata. Beberapa diantaranya menyajikan kenikmatan wisata alam. Ini membuat penduduk yang penat dengan rutinitas dapat menikmati kesegaran baru di kawasan-kawasan wisata tersebut. Diantara banyaknya lokasi wisata alam, tim Ekspedisi Geowisata National Geographic Traveller Indonesia mencatat beberapa lokasi menarik,. Daerah wisata tersebut adalah sebagai berikut:

1. Alas Purwo, Jawa Timur
Tempat ini paling dikenal dengan Teluk Grajagan di Plengkung. Banyak peselancar dunia menyebut ini sebagai G-Land, tempat yang memuaskan hasrat berselancar mereka. Pengunjung juga dapat menikmati daerah ini dengan berkemah di hutan formasi pantai serta berpasir putih di daerah Triangulasi. Atraksi lain adalah melihat lokasi peteluran penyu di Pantai Ngagelan. 
2. Bromo – Tengger – Semeru, Jawa Timur
Bagi masyarakat Jawa Timur, kawasan ini termasuk mudah dikunjungi. Pasalnya akses menuju ke lokasi wisata ini telah terbangun dengan baik. Ini membuat kawasan tersebut ramai dikunjungi pada akhir pekan. Bentangalam berupa lautan oasr, gunungapi Bromo, dan kaldera yang mengelilinginya mejadi sajian utama. Setiap subuh, pengunjung berkumpul di Gunung Panjakan untuk menikmati matahari terbit. Mereka yang senang mendaki gunung atau hiking tidak akan meninggalkan kesempatan untuk mendaki gunung Semeru. Jika tidak sanggup mencapai puncak, minimal dapat sampai untuk berkemah di Ranu Kumbolo, Ranu Pani, dan Ranu Kumbolo. 
3. Ciremai, Jawa Barat
Gunung Ciremai sangat dikenal dengan pendakian gunung. Pendakian dilakukan melalui jalur Linggarjati atau Palutungan. Selain itu pengunjung dapat menikmati keindahan alam dan melakukan aktivitas seperti trekking ke air terjun Curug Sawer yang berlokasi di Desa Airlangga, Kecamatan Argapura, Majalengka. Kegiatan lain berupa perkemahan juga dapat dilakukan di Desa Babakan Mulya, Kecamatan Jalaksana, Kuningan.


4. Ujung Kulon, Jawa Barat
Siapa yang pernah dengan spesies badak Jawa? Badak yang dikenal dengan nama badak bercula satu atau bacusa ini banyak ditemukan di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Karena fungsinya menjaga populasi badak dan banteng, pada tahun 1991 Unesco menetapkan Ujung Kulon sebagai Warisan Dunia. Beberapa atraksi wisata yang bisa dinikmati di Ujung Kulon adalah wisata perairan dan pengamatan Pulau Peucang, susur sungai dan hutan, serta pengamatan peteluran penyu di Karang Copong, Ciujungkulon, Cidaon, hingga Tanjung Layar. Keberadaan badak Jawa juga dapat diamati melalui pencarian jejaknya di Cihandeuleum.


(Yermia Riezky)

13 Aug 2014

Raja Ali Haji, Peletak Dasar Tata Bahasa Melayu




Jika Anda mencari tahu siapa Raja Ali Haji, banyaklah julukan yang akan ditemukan. Ia adalah ulama, ahli sejarah, pujangga, penyair, dan Bapak Bahasa Indonesia yang mendapat gelar pahlawan Nasional 10 November tahun 2004 lalu. Namun sampai manakah orang Indonesia mengingat tokoh yang sudah wafat ratusan tahun silam ini?

Satu hari pada 1822...

Satu rombongan dari Kerajaan Riau-Lingga tiba di Batavia. Pemimpin rombongan itu, Raja Ahmad datang membawa istri dan dua orang anaknya, Raja Ali dan Raja Muhammad. Rencananya, rombongan yang berlayar jauh dari Pulau Penyengat akan menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron den Capellen. Sebuah urusan penting membawa rombongan penasihat Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga menemui Gubernur Jenderal Capellen.

Kunjungan yang berlangsung selama tiga bulan itu tak hanya bermuatan politis. Keluarga Raja Ahmad meluangkan waktu untuk mengamati apa yang mereka temui di sana. Perjalanan tak berlangsung membosankan karena mereka ditemani oleh Christiaan van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pibumi pada pemerintahan Hindia Belanda.

Raja Ali yang berumur sekitar 13 tahun ketika itu berkenalan dengan beberapa orang Belanda yang dapat berbahasa melayu dengan baik. Mereka mengunjungi Bogor, menonton pertunjukan kesenian dan opera, serta mengunjungi ulama ternama. Salah satu yang paling diingat oleh Raja Ali adalah kunjungannya ke gedung opera Scouwburg yang kini dikenal dengan Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta.

Perjalanan Raja Ali keluar Pulau Penyengat pada masa remajanya tak hanya saat keluarganya berangkat ke Batavia. Di usianya yang ke-19, ia mengikuti ayahnya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Rombongan calon haji Riau-Lingga cukup besar. Selain Raja Ahmad dan Raja Ali, turut pula Said Abdullah, Said Hamid, dan dua pegawai Kerajaan Riau-Lingga Khatib Abdulrahman dan Bilal Abdullah.

Tak hanya itu, turut juga Haji Abdul Jamil yang merupakan putra Haji Abdul Wahab guru besar Raja Ahmad dan Engku Putri dari Minangkabau, Encik Muhammad Saleh yang merupakan putra Encik Abu Bakar guru Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar saat belajar Al Quran di Trengganu. Ikut pula dalam rombongan Muhammad bin Encik Makmur, Ahmad bin Encik Makmur dan seorang pegawai masjid asal Jawa bernama Ismail. Perjalanan mereka bermodalkan uang 10 ringgit pemberian Engku Putri ditambah 14 ribu ringgit uang yang diperoleh Raja Ahmad saat ia sendiri berniaga ke Pulau Jawa.

Setibanya di Jeddah, rombongan itu disambut oleh sejumlah Syekd Haji, di sana mereka dikenal dengan Mutawwif. Para Syekh menawarkan jasa sebagai pemandu, menyediakan akomodasi dan hal-hal pendukung selama di Tanah Suci. Raja Ahmad memilih Syekh Ahmad Msyafi yang memandu mereka selama menunaikan ibadah haji. Salah satu alasannya, Syekh Ahmad merupakan keturunan hamba tua dan Bugis 40 hamba laki-laki pengiring Daeng Marewa di Riau.

Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Raja Ahmad kemudian dikenal dengan nama Engku Haji Tua, sedangkan anaknya Raja Ali sepulangnya dari Mekah dipanggil Raja Ali Haji.

Dua perjalanan itu sangat berkesan bagi Raja Ali Haji. Ia kemudian secara rinci menulis perjalanan itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafis (Bingkisan Berharga) yang menceritakan tentang sejarah Melayu. Dalam karya yang sebagian juga ditulis oleh Raja Ahmad itu, Ali Haji menceritakan, kepulangan mereka juga membawa hadiah yang diterima rombongan termasuk dua budak asal Afrika dari bangsa Habsy dan seoang Bangsa Nubi. Kisah itu sempat membangkitkan pertanyaan sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, "Apakah ada keturunan orang Habsy dan Nubi di Pulau Penyengat?"

Tuhfat Al-Nafis merupakan salah satu karya yang lahir dari tangan Raja Ali Haji. Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, I Nyoman Veda Kusuma dalam tulisannya Raja Ali Haji: Tokoh Bahasa dan Sastra Melayu Abad XIX mengatakan, berdasarkan katalog Van Ronkel yang tersimpan di Museum Jakarta, Ali Haji memiliki tujuh karya yang dikenal. Selain Tuhfat Al-Nafis, Ali Haji juga menulis Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya, Gurindam Dua Belas, Bustan Al-Kantibin, Nasihat, Syair Abdul Muluk, dan Thamra Tu Al-Muhammadiyafa. Dari ketujuh karyanya, Gurindam Dua Belas yang paling sering terdengar di kalangan umum. Lainnya beredar dan dipelajari para penggiat sastra dan sejarah.

Karya-karya Raja Ali Haji terkenal karena mampu melampaui zaman. Aswandi menyebut Gurindam Dua Belas sebagai karya yang aktual sepanjang zaman karena keluasan dan kedalaman kandungan isinya. Sementara pada zaman Ali Haji, Eliza Netscher yang menerbitkan Gurindam Dua Belas mengatakan karya itu, "Sangat menyenangkan bagi telinga orang Eropa."

Dalam perjalanan, terungkap bahwa Ali Haji merupakan tokoh yang merintis penggunaan bahasa Melayu terstruktur. Ini membuat ia diminta Hermann von de Wall penyusun Kamus Bahasa Melayu -Belanda, untuk membantu penyusunan buku tersebut.

Jasanya di bidang bahasa dan sastra membuat Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Raja Ali Haji 9 tahun lalu. Ia dinobatkan bersamaan dengan Ismail Marzuki, Ahmad Rifai, Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, dan Gatot Mangkoepraja.

Gelar Pahlawan Nasional untuk Raja Ali Haji telah diusulkan Pemerintah Daerah Riau karena jasa-jasanya terhadap bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa nasional.Terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Anugerah ini membuat Ali Haji menjadi anggota kerajaan Riau-Lingga kedua setelah kakeknya, Raja Haji Fisabilillah yang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Raja Haji mendapatkannya pada 1997. (Yermia Riezky & Fanny Ambaratih 

*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos 10 November 2013

12 Aug 2014

Kejayaan Singkat Batam Brickworks


Raja Ali Kelana memimpin perusahaan batu bata pada akhir 1800-an. Jadi tonggak awal industri di Batam karena dikelola secara modern. Namun redup karena tekanan Belanda.

AWAL Februari 2014 warga Desa Rantaukasih di Kecamatan Lawangwetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan menemukan sebuah bunker. Menurut ahli dari Balai Arkeologi Palembang, bunker tersebut dibangun pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Bunker itu dibangun menggunakan batu bata. Beberapa batu bata tercecer di sekitar lokasi penemuan bunker. Ukurannya lebih besar ketimbang batu bata yang ada saat ini.

Pada bagian tengah salah satu sisinya ditandai dengan tulisan BATAM yang ditekan ke dalam. Ahli mengungkapkan, batu bata tersebut merupakan produksi perusahaan pembuat batu bata asal Singapura Batam Brickworks. Perusahaan itu didirikan oleh Raja Ali Kelana dari Kerajaan Riau-Lingga yang bekerja dengan pengusaha Singapura bernama Ong Sam Leong di akhir 1800-an.

Pabrik batu bata Batam Brickworks yang berlokasi di Pulau Batam memang memproduksi batu bata berkualitas tinggi pada akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke-20. Setelah berjalan beberapa tahun, usaha tersebut mengalami masa surut sehingga Raja Ali Kelana membeli seluruh pemilikan perusahaan dari tangan Ong Sam Leong pada 1896.

Sejarawan asal Kepulauan Riau Aswandi Syahri mengungkapkan setelah Raja Ali Kelana menjadi pemilik tunggal, kondisi perusahaan batu bata itu membaik. Keadaan itu juga disokong dengan keputusan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf yang menyerahkan sejumlah kawasan tertentu di Pulau Batam kepada anaknya, Raja Abdullah dan Raja Ali Kelana, serta saudaranya Raja Muhammad Thahir pada 26 Juli 1898.

Raja Ali Kelana mendapat lahan di wilayah Batu Haji, yang saat ini dikenal sebagai Batuaji. Di sanalah lokasi pabrik batu bata milik Raja Ali Kelana. "Lokasi pabrik itu saat ini telah berubah menjadi kawasan galangan kapal di belakang Sintai," kata Aswandi.

Di tangan Raja Ali Kelana, Batam Brickworks kemudian didaftarkan dan diiklankan ke dalam The Singapore and Strait Directory for 1901. Dalam daftar itu, Raja Allie (Raja Ali Kelana) disebutkan sebagai pemiliknya.

Sejak diiklankan, batu bata Batam Brickworks mulai dikenal dan menjadi perusahaan penghasil batu bata terbesar di Kepulauan Riau Lingga. Semakin banyak peminat tidak hanya dari Riau ñ Lingga. "Batu bata Batam dipasarkan hingga Malaysia dan Hanoi, Vietnam. Itu menunjukkan seperti apa kualitas batu bata Batam," ujar Aswandi.

Di Pulau Pinang, batu bata Batam memenangkan penghargaan Penang Agricultural Show pada 1901. Setahun kemudian kualitas batu bata Batam kembali mendapat penghargaan dalam Hanoi Exposition pada 1902 dan selanjutnya di 1903.

Salah satu kunci kesuksesan batu bata Batam Brickworks adalah bahan baku tanah yang banyak ditemukan di Batam. Menurut Aswandi, faktor lain yang meningkatkan popularitas batu bata itu adalah lokasi pabriknya dekat dengan jalur perdagangan yang ramai saat itu.

"Saat Belanda membuka pangkalan di Teluk Bulang, Selat Bulang menjadi jalur pelayaran yang ramai. Ini membantu mengenalkan batu bata Batam," kata Aswandi.

Di awal abad ke-20, kebutuhan batu bata di kawasan Melayu tinggi. Di Riau-Lingga sendiri, pembangunan terus berlangsung di antaranya gedung Mahkamah Besar dan Istana Laut di Penyengat.  

Sementara Singapura semakin berkembang. Batu bata Batam juga digunakan untuk membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana perkeretaapian di Sigapura dan negeri-negeri di semenanjung. Untungnya, Batam Brickworks merupakan industri pembuatan batu bata yang modern saat itu. Mereka memproduksi batu bata bakar sebanyak 30 ribu bata.

Aswandi menjelaskan, keberhasilan Raja Ali Kelana dalam mengembangkan Batam Brickworks adalah buah dari manajemen modern yang diterapkannya. Manajemen itu diendalikan dari kantor pusat dan depot yang berada di Singapura yang dipimpin oleh Said Syech al-Hadi, Said Omar bin Sahab, Sudin, Abdool Koodos, Tiang Pow, Abdul Latip, Abdul Hakim, dan beberapa orang lainnya. 

"Dan sudah tentu mereka didukung oleh pabrik dengan mesin-mesin modern pada zamannya di Pulau Batam," terang Aswandi.

Tingginya kebutuhan ini menguntungkan Raja Ali Kelana. Harga jual batu bata meningkat. Dari hasilnya, dia sanggup membeli dua kapal uap. Pada masa jayanya itu, Batam Brickworks menjadi perusahaan yang dikendalikan putra Melayu yang bergengsi. Keberadaannya diperhitungkan di kawasan Selat Malaka.

Enjin Batu

Aswandi mencatat, penduduk Batu Haji dan Pulau Bulang menyebut kawasan pabrik sebagai enjin Batu. Sebutan itu merujuk pada mesin uap yang digunakan untuk membuat batu bata. "Arsip dan peta-peta lama menyebutkan kawasan itu sebagai indjin batoe dalam bahasa Melayu atau steenebakkerij dalam bahasa Belanda," kata Aswandi.

"Orang-orang tua di Bulang masih sering menyebutkan kawasan enjin batu jika berbicara tentang pabrik batu bata Raja Ali Kelana," Aswandi menambahkan.

Batam Brickworks semakin masyur usai membeli mesin uap baru pada 1906. Pabrik itu mampu menghasilkan batu bata dengan kualitas terbaik di belahan timur. Batu bata Batam bahkan mampu menyaingi batu bata Skotlandia yang ketika itu juga digemari di Singapura.

Sayangnya masa keemasan Batam Brickworks tidak lama. Riak-riak perlahan muncul. Pada saat itu, produksi sempat berhenti beberapa tahun. Dalam laman Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional disebutkan, persoalan internal yang menyebabkan terhentinya produksi batu bata adalah persoalan keuangan. Sementara faktor luar yang memengaruhi adalah tekanan dan sabotase Belanda terhadap Raja Ali Kelana. Menurut Aswandi, tekanan tersebut terjadi karena aktivitas politik Raja Ali Kelana yang menentang penjajahan Belanda di Riau-Lingga.

Raja Ali kelana akhirnya memutuskan hijrah ke Johor. Hal tersebut ia lakukan untuk menghindari ancaman dan tekanan politik Belanda. Namun, sebelum ia pergi pada 1911, Raja Ali Kelana terlebih dulu menjual Batam Brickworks dan pabriknya kepada Sam Bee Brickworks. Perusahaan itu merupakan milik pengusaha Cina di Singapura. Penjualan itu diumumkan Sam Bee Brickworks dalam surat kabar The Strait Times di Singapura pada 10 Januari 1910.

Aswandi tidak memiliki catatan sampai kapan Sam Bee Brickworks beroperasi. "Kemungkinan sampai pertengahan abad 20," ujar Aswandi, tanpa memastikan waktunya. Dari temuan di Musi Banyuasin, terungkap, Jepang menggunakan batu bata Batam saat menduduki Indonesia di tahun 1942-1945.

Industri batu bata di Batam Brickworks milik Raja Ali Kelana merupakan tonggak awal Batam sebagai daerah industri. Ia sudah mengembangkan industri dengan produk terbaik di kawasan timur. Ini menjadikan Raja Ali Kelana sebagai putra Melayu yang disegani pada masa jaya Batam Bickworks.


(yermia riezky) 


*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014

Hikayat Dari Sungai Durian


Warga Tionghoa sudah menetap di Batam sejak pertengahan abad ke-18. Duriangkang adalah persinggahan pertama mereka. Menanam gambir dan menyebar pengaruh hingga ke bidang kuliner dan busana.
Tujuh orang keturunan Tionghoa duduk melingkari sebuah meja bundar. Usia mereka di atas 50-an. Dua di antaranya bahkan telah sepuh, berjalan membungkuk dan dibantu tongkat. Seorang dari kelompok itu sepanjang pembicaraan terus menggunakan bahasa Indonesia saat lainnya menyerocos dalam lafal Mandarin. Namun pembicaraan di kedai kopi Tien-Tien, Seipancur, Tanjungpiayu, Batam, itu tetap berlangsung gayeng.
Beberapa kali mereka menyebut kata Imlek. Meluncur pula nama Wakil Gubernur Kepulauan Riau Soerya Respationo. Pembicaraan diselingi tawa dan kopi hitam panas atau kopi-o.
Hampir satu jam mereka berbincang siang itu. Setelahnya, mereka kemudian meninggalkan kedai sama seperti saat datang, sendiri-sendiri. Satu yang tetap tinggal adalah pemilik kedai, Sahdan. Selesai pertemuan, pria yang juga bernama Lie Sin Siang itu membersihkan meja. Seorang pelanggan datang memesan nasi goreng yang dengan terampil Sahdan menyiapkannya. Sesekali ia melihat salah seorang pekerja membersihkan dinding dan langit-langit lantai satu ruko tempat kedai kopi miliknya.
"Ini untuk mempersiapkan Imlek, karena itu kami bersih-bersih," kata Sahdan. Di usianya yang mendekati 60, kondisinya masih segar. Badannya sedang, tak gemuk dan tak juga kurus dengan tinggi sekitar 165 centimeter. Rambutnya cepak.
Pembicaraan bersama enam rekan yang berlangsung sebelumnya adalah persiapan perayaan Imlek yang akan jatuh pada 31 Januari 2014. Sementara nama Soerya mereka sebut sebagai salah satu tokoh yang akan diundang. Beberapa waktu lalu, Soerya sempat menghadiri acara ulang tahun Klenteng Catur Dharma Tanjungpiayu yang ke-19.
"Klenteng itu pindahan dari Duriangkang tahun 1995," kata Sahdan sambil memperlihatkan foto-foto kehadiran Wakil Gubernur dalam acara lalu.
Sahdan mengatakan, ada dua klenteng yang dipindahkan dari Duriangkang sebelum kawasan itu ditenggelamkan menjadi waduk pada 1996. Satu lagi adalah Klenteng Cetya Santi-Sakti yang dipindahkan tahun 1994. Saat ini klenteng Santi-Sakti diurus oleh keluarga Sahdan.
Sahdan dan rekan-rekan semejanya merupakan keturunan, paling tidak, generasi ketiga dari orang Tionghoa yang datang dan menetap di Duriangkang. "Kecuali yang tadi berbahasa Indonesia, dia dari Kalimantan Barat," Sahdan menjelaskan.
Kakek Sahdan, Li Yong Hok berlayar meninggalkan kampungnya di Hailam, China ke arah Selatan. Ia singgah di Singapura sebelum lanjut ke Batam. Tahun 1929, Yong Hok sampai di Duriangkang bersama kakaknya Li Yong Hiang, bergabung dengan komunitas Tionghoa asal Hailam yang telah lama menetap di Duriangkang.
Dalam buku Tionghoa Batam: Dulu dan Kini, Edi Sutrisno dan kawan-kawan menulis orang-orang Tionghoa sudah menetap di Pulau Batam sejak pertengahan abad ke-18 tepatnya di sekitar Duriangkang. Mereka berlayar langsung dari daratan China menggunakan perahu layar kayu berisi tujuh sampai sepuluh orang.
Mereka memasuki Batam dari Seibuluh. Setelah menyusuri sungai ke dalam pulau, mereka kemudian menetap di satu wilayah yang memiliki banyak pohon durian. Untuk memudahkan ingatan, mereka menamakan daerah itu duriangkang. 'Durian' yang berarti pohon durian. sementara 'kang' dalam bahasa Tionghoa berarti sungai. Duriangkang berarti Sungai Durian.
Di sana, masyarakat Tionghoa kemudian membuka lahan dan menanam gambir. Saat itu gambir menjadi komoditas yang dicari dunia. Di Singapura harganya terbilang tinggi.
Sejarawan Kepulauan Riau Aswandi Syahri mengatakan penanaman gambir di Batam sangat marak pada pertengahan hingga menjelang akhir abad ke 19. Sebelumnya, pusat tanaman gambir berada di Pulau Bintan.
"Perpindahan itu karena bahan bakar untuk memasak gambir telah habis di Bintan," kata Aswandi.
Tingginya harga gambir di pasar dunia tak hanya mengundang pedagang besar seperti dua firma Lau Yu Ha dan Sin Yun Hi ke Duriangkang. Para gangster pun ikut merecoki perdagangan hasil bumi yang berfungsi dalam industri kulit itu. Aswandi mengungkapkan, persaingan muncul di antara kelompok asal Riau yang disebut 'Muka Hitam' dan kelompok 'Muka Merah' asal Singapura.
Namun, kejayaan gambir tak berlangsung lama. Sekitar 1930-an, harganya anjlok di pasar Singapura. Belanda yang saat itu berkuasa di Nusantara kemudian mengubah tanaman gambir menjadi karet. Tanaman penghasil getah itu kemudian terus ditanam pada masa pendudukan Jepang, pasca kemerdekaan, hingga sebelum kawasan Duriangkang tenggelam oleh proyek waduk garapan Otorita Batam pada 1996. Tanaman ini juga masih terekam dalam memori Sahdan dan warga Seipancur pindahan dari Duriangkang.
Di masa lampau, perantau asal Tionghoa tak hanya menetap di Duriangkang. Mereka juga menempati daerah Teluk Tering, Mukakuning, Batuaji, Sambau dan Seipanas. Seipanas punya catatan khusus dalam sejarah masyarakat Tionghoa Batam. Daerah itu menjadi semacam pelabuhan dimana banyak kapal-kapal pukat besar yang masuk melalui sungai. Barang dagangan seperti gambir dan karet banyak diangkut melalui lokasi itu.
Meski tersebar di banyak titik di Pulau Batam, Duriangkang tetap dianggap sebagai pusat. Pasalnya kegiatan pertanian dan perkebunan banyak dilakukan di daerah itu. Makin lama, makin banyak orang yang datang ke Duriangkang, termasuk warga pribumi dari Flores, Padang, dan Sumatera Utara. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan karet. Lainnya berdagang.
Selain perkebunan, warga Tionghoa menyumbangkan banyak hal bagi Batam dan Kepulauan Riau. Industri batu bata milik Raja Ali Kelana di Batuaji tak dapat berjalan sukses tanpa bantuan pengusaha China. Pedagang Tionghoa-lah yang menyadarkan tingginya nilai ekonomi gambir yang dibawa oleh orang-orang Bugis ke Kepulauan Riau.
Selain kepada Belanda, Kerajaan Riau-Lingga ketika itu banyak memberikan hak guna lahan kepada pengusaha Tionghoa karena kemampuan mereka mengelola sumber daya alam yang berguna bagi pemasukan kerajaan. Selain berkebun, pengusaha itu juga memiliki tambang batu, usaha perikanan, hingga rumput laut yang diolah menjadi agar-agar.
Pengaruh budaya Tionghoa juga masuk ke dapur melalui makanan dan kebiasaan minum kopi. Mereka membuka kedai kopi yang menjadi ajang kumpul warga baik Tionghoa maupun pribumi. Kata tiam dalam 'kopi tiam' berasal dari dialek Tio Ciu yang berarti kedai. Kedai kopi Sahdan atau Tiang-Tiang merupakan yang tertua di Pulau Batam. Ia merupakan pengelola kelima dari kedai yang aslinya bernama Kwa Hwa itu.
Tak hanya itu, pengaruh Tionghoa juga merasuk ke dunia mode. Potongan teluk belanga yang menjadi salah satu gaya busana Melayu merupakan pengaruh dari busana China.
Dalam catatan sejarah, pedagang dan pengusaha Tionghoa juga punya pengaruh buruk di Batam. Mereka adalah pembeli setia candu dari pedagang-pedagang candu asal Eropa. Candu itu kemudian diperdagangkan di dalam kawasan perkebunan untuk kemudian dibeli para buruh.
"Mengedarkan candu kepada para buruh jadi siasat pengusaha Tionghoa agar uang mereka tidak beredar di luar," Aswandi menerangkan. "Di situlah pintarnya mereka."
Seperti masyarakat Tionghoa lain di Indonesia, masa Orde Baru merupakan masa sulit bagi mereka. Ekspresi kebudayaan asal China dilarang oleh rezim pemerintahan Presiden Suharto.
Pengamat Budaya Tionghoa di Batam, Budi Tamtomo, mengatakan pemerintah saat itu begitu alergi dengan aksara Tionghoa, meski mereka bergandeng erat dengan banyak pengusaha keturunan Tionghoa.
"Orang-orang yang masuk ke Indonesia harus mengisi formulir tidak membawa narkoba dan bacaan beraksara China. Sebegitu antinya sampai aksara Tionghoa disamakan dengan narkoba," terang Budi.
Sahdan mengingat, pada masa itu mereka kerap kesulitan mengekspresikan jati diri mereka. Untuk berdoa saja mereka sulit. Klenteng-klenteng yang ada di Duriangkang diubah menjadi vihara, karena pemerintah mengakui agama Budha namun tidak untuk Kong Hu Cu. Namun secara sembunyi-sembunyi mereka masih bisa menikmati perayaan Imlek.
"Saat Imlek, kami makan bersama sekeluarga dan mengunjungi kerabat. Kami juga memberikan bingkisan bagi pekerja pada hari itu," ujar Sahdan.
Pascareformasi dan keputusan Presiden Abdurrahman Wahid menghapus larangan bagi ekspresi kebudayaan Tionghoa, perasaan lega dinikmati keturunan Tionghoa di Indonesia, termasuk Batam.  Aksara China bertebaran di setiap sudut kota. Klenteng kembali muncul dan warga Tionghoa penganut Kong Hu Cu ramai-ramai menyerbu untuk berdoa. Kursus bahasa Mandarin pun menjamur. Nama-nama bernuansa Tionghoa pun sudah jamak di telinga masyarakat.
Di Batam, peran warga keturunan Tionghoa tak mungkin bisa dihilangkan. Sejak kedatangan mereka di pulau ini, mereka begitu fasih menjalankan roda ekonomi dari skala mikro hingga kelas yang hanya bisa dijalankan para taipan. Kondisi geografis Batam yang berhadapan dengan Singapura dan bertetangga dengan Malaysia makin memperkuat pengaruh mereka, karena didukung kesamaan bahasa. Seiring berjalannya waktu dan munculnya generasi baru dengan samangat yang terus terpompa, menjamin pengaruh mereka akan terus mencengkeram bak cakar naga dengan jaringan yang terus menggurita.
(Yermia Riezky) 
*Terbit di Majalah Batam Pos Edisi 45
*Saya juga menuliskan di blog catatan harian saya, rasakehidupan.wordpress.com