Batam pernah berjaya
lewat batu bata milik Raja Ali Kelana. Sempat tenggelam, industri itu
kini bergerak di tangan para perantau asal Demak.
Gudang batu bata
Muslikan kedatangan pembeli. Sebuah lori yang dicat biru dengan bak
kosong bergerak perlahan di depan gudang. Sang sopir kemudian
mengarahkan lori itu bergerak mundur memasuki gudang yang berlokasi
di Kampung Jawa, Piayu Laut, Kecamatan Seibeduk, Batam itu. Lori
terus mundur hingga berhenti hanya beberapa sentimeter dari tumpukan
batu bata yang disusun setinggi lima meter.
Muslikan segera
menghampiri sopir lori itu. "Mau ambil berapa, Mas?"
Muslikan bertanya jumlah batu bata yang ingin diangkut.
"Enam ribu
biji, ya," jawab sang sopir.
Muslikan segera
memerintahkan empat pekerjanya mengambil batu bata sebanyak yang
diminta pembelinya. Segera empat orang pekerja naik ke bak lori. Satu
di antara mereka memanjati tumpukan bata, dan mengambil posisi yang
aman untuk berpijak saat mengambil bata dari tumpukan tersebut.
Muslikan juga turut mengambil batu bata dari bagian dasar tumpukan.
Kelima orang itu
melakukan pekerjaannya dengan cepat. Sekali ambil, bisa enam batu
bata yang disusun. Mereka kemudian melempar batu bata itu ke rekan
yang ada di bak lori. Dengan sigap, pekerja di dalam lori menangkap
dan menyusun bata-bata tersebut.
Selama 30 menit
bekerja, kelima orang itu tidak pernah berhenti bericara. Ada saja
bahan yang memancing suasana agar tetap gayeng. Tak hanya mereka
berlima, empat perempuan istri pekerja yang duduk tak jauh dari lori
turut menimpali pembicaraan kaum pria.
Saat merembet ke
topik pemilihan presiden, seorang pekerja angkat bicara tentang visi
salah satu calon presiden. "Ada yang menjanjikan kalau dia
terpilih akan menaikkan upah buruh jadi enam juta," kata seorang
pekerja.
"Iya, bisa
saja. Tapi siapa yang mau bayar?" pekerja lainnya menyambar.
"Apa bosnya
yang mau bayar? Sanggup?"
Muslikan yang
ditanyai seperti itu hanya tersenyum kecut. Tapi ia tidak tersinggung
dengan pertanyaan itu.
Ketika pekerjaan
selesai, Muslikan meminta sopir lori memeriksa dan menghitung jumlah
bata yang diangkut. Sang sopir tidak memberikan uang tunai. Ia hanya
memberikan nota. Nota itu nanti yang akan dicairkan ke toko bangunan.
Jarang pembeli
membayar dengan uang kontan. Lebih sering mereka memberikan nota
untuk diklaim ke toko bangunan. Para pemilik usaha pembuatan batu
bata seperti Muslikan pun tidak keberatan dengan itu. Mereka sudah
sering melakukan transaksi tanpa uang kontan di depan.
Pengusaha pembuat
batu bata lain di Kampung Jawa, Mustofa, mengatakan meski sistem
kepercayaan seperti itu yang berkembang, pengusaha batu bata sering
dirugikan.
"Kadang kalau
kami menelepon apakah sudah bisa dicairkan, pemilik toko bangunan
mengatakan uangnya belum ada. Kami tidak tahu apakah uangnya benar
tidak ada," kata Mustofa.
Padahal, pengusaha
bata membutuhkan dana untuk operasional rutin selama dua bulan. Dua
bulan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan batu bata
sampai jumlahnya cukup untuk dibakar.
"Kami masih
harus membayar makan para pekerja. Membetulkan rumah mereka, dan
membenahi gudang-gudang yang rusak," kata Mustofa. Para
pengusaha bata di Piayu Laut membangun tempat tinggal untuk pekerja
dan keuarganya.
"Saya tinggal
di sini sejak 2007. Di rumah yang kecil itu," kata Sutriman,
salah satu karyawan Muslikan menunjukkan rumahnya yang dindingnya
hanya ditutupi terpal. Luas rumahnya hanya 3x4 meter. Kakusnya dibuat
secara sederhana di belakang rumah dengan menggali tanah.
Pengusaha bata merah
di Piayu Laut kesulitan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari usaha
mereka. Meski memiliki usaha, tidak lantas membuat mereka menjadi
kaya raya. Muslikan tetap tinggal di rumah sederhana berdinding bata
merah yang tidak dilapisi plaster. Tidak banyak yang berubah meski ia
memiliki tiga gudang yang salah satunya difungsikan sebagai tempat
memasak bata atau tobong.
"Saya sudah
sepuluh tahun tinggal di sini sejak melakukan usaha ini. Sebelumnya,
saya bekerja membuat batu bata di Mangsang sejak 1999," kata
Muslikan. Seperti Muslikan, nyaris semua pengusaha bata di Piayu Laut
bekerja membuat bata di Mangsang, Seibeduk.
Batu bata produksi
Piayu Laut menjadi salah satu yang dicari dalam pembuatan gedung atau
rumah mewah. Pengembang tidak akan mengambil risiko menggunakan
batako yang rapuh untuk proyek-proyek mewah. Sayangnya posisi
produsen bata merah berada di dasar piramida proyek-proyek konstruksi
di Batam.
Posisi itu membuat
pemborong atau toko-toko bangunan sanggup menentukan harga. Mereka
juga sanggup memaksa agar produsen mau menurunkan harga. Caranya,
toko bangunan sepakat tidak mengambil batu bata dalam waktu tertentu.
"Kalau
pelanggan sudah lama tidak datang, biasanya kami telepon untuk
menanyakan. Tapi jawab mereka hampir sama, 'stok bata masih ada'.
Kami tahu mereka bersekongkol untuk mendapatkan harga yang murah,"
keluh Mustofa. "Tapi kami tidak bisa apa-apa, soalnya kami yang
membutuhkan mereka."
(Yermia Riezky)
Dipublikasikan di Majalah Batam Pos 29 Juni 2014
No comments:
Post a Comment