12 Aug 2014

Cerita Batam Dalam Sepotong Bata (1)

Batam pernah berjaya lewat batu bata milik Raja Ali Kelana. Sempat tenggelam, industri itu kini bergerak di tangan para perantau asal Demak.

Gudang batu bata Muslikan kedatangan pembeli. Sebuah lori yang dicat biru dengan bak kosong bergerak perlahan di depan gudang. Sang sopir kemudian mengarahkan lori itu bergerak mundur memasuki gudang yang berlokasi di Kampung Jawa, Piayu Laut, Kecamatan Seibeduk, Batam itu. Lori terus mundur hingga berhenti hanya beberapa sentimeter dari tumpukan batu bata yang disusun setinggi lima meter.

Muslikan segera menghampiri sopir lori itu. "Mau ambil berapa, Mas?" Muslikan bertanya jumlah batu bata yang ingin diangkut.

"Enam ribu biji, ya," jawab sang sopir.

Muslikan segera memerintahkan empat pekerjanya mengambil batu bata sebanyak yang diminta pembelinya. Segera empat orang pekerja naik ke bak lori. Satu di antara mereka memanjati tumpukan bata, dan mengambil posisi yang aman untuk berpijak saat mengambil bata dari tumpukan tersebut. Muslikan juga turut mengambil batu bata dari bagian dasar tumpukan.

Kelima orang itu melakukan pekerjaannya dengan cepat. Sekali ambil, bisa enam batu bata yang disusun. Mereka kemudian melempar batu bata itu ke rekan yang ada di bak lori. Dengan sigap, pekerja di dalam lori menangkap dan menyusun bata-bata tersebut.

Selama 30 menit bekerja, kelima orang itu tidak pernah berhenti bericara. Ada saja bahan yang memancing suasana agar tetap gayeng. Tak hanya mereka berlima, empat perempuan istri pekerja yang duduk tak jauh dari lori turut menimpali pembicaraan kaum pria.

Saat merembet ke topik pemilihan presiden, seorang pekerja angkat bicara tentang visi salah satu calon presiden. "Ada yang menjanjikan kalau dia terpilih akan menaikkan upah buruh jadi enam juta," kata seorang pekerja.

"Iya, bisa saja. Tapi siapa yang mau bayar?" pekerja lainnya menyambar.

"Apa bosnya yang mau bayar? Sanggup?"

Muslikan yang ditanyai seperti itu hanya tersenyum kecut. Tapi ia tidak tersinggung dengan pertanyaan itu.

Ketika pekerjaan selesai, Muslikan meminta sopir lori memeriksa dan menghitung jumlah bata yang diangkut. Sang sopir tidak memberikan uang tunai. Ia hanya memberikan nota. Nota itu nanti yang akan dicairkan ke toko bangunan.

Jarang pembeli membayar dengan uang kontan. Lebih sering mereka memberikan nota untuk diklaim ke toko bangunan. Para pemilik usaha pembuatan batu bata seperti Muslikan pun tidak keberatan dengan itu. Mereka sudah sering melakukan transaksi tanpa uang kontan di depan.

Pengusaha pembuat batu bata lain di Kampung Jawa, Mustofa, mengatakan meski sistem kepercayaan seperti itu yang berkembang, pengusaha batu bata sering dirugikan.

"Kadang kalau kami menelepon apakah sudah bisa dicairkan, pemilik toko bangunan mengatakan uangnya belum ada. Kami tidak tahu apakah uangnya benar tidak ada," kata Mustofa.

Padahal, pengusaha bata membutuhkan dana untuk operasional rutin selama dua bulan. Dua bulan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan batu bata sampai jumlahnya cukup untuk dibakar.

"Kami masih harus membayar makan para pekerja. Membetulkan rumah mereka, dan membenahi gudang-gudang yang rusak," kata Mustofa. Para pengusaha bata di Piayu Laut membangun tempat tinggal untuk pekerja dan keuarganya.

"Saya tinggal di sini sejak 2007. Di rumah yang kecil itu," kata Sutriman, salah satu karyawan Muslikan menunjukkan rumahnya yang dindingnya hanya ditutupi terpal. Luas rumahnya hanya 3x4 meter. Kakusnya dibuat secara sederhana di belakang rumah dengan menggali tanah.

Pengusaha bata merah di Piayu Laut kesulitan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari usaha mereka. Meski memiliki usaha, tidak lantas membuat mereka menjadi kaya raya. Muslikan tetap tinggal di rumah sederhana berdinding bata merah yang tidak dilapisi plaster. Tidak banyak yang berubah meski ia memiliki tiga gudang yang salah satunya difungsikan sebagai tempat memasak bata atau tobong.

"Saya sudah sepuluh tahun tinggal di sini sejak melakukan usaha ini. Sebelumnya, saya bekerja membuat batu bata di Mangsang sejak 1999," kata Muslikan. Seperti Muslikan, nyaris semua pengusaha bata di Piayu Laut bekerja membuat bata di Mangsang, Seibeduk.

Batu bata produksi Piayu Laut menjadi salah satu yang dicari dalam pembuatan gedung atau rumah mewah. Pengembang tidak akan mengambil risiko menggunakan batako yang rapuh untuk proyek-proyek mewah. Sayangnya posisi produsen bata merah berada di dasar piramida proyek-proyek konstruksi di Batam.

Posisi itu membuat pemborong atau toko-toko bangunan sanggup menentukan harga. Mereka juga sanggup memaksa agar produsen mau menurunkan harga. Caranya, toko bangunan sepakat tidak mengambil batu bata dalam waktu tertentu.


"Kalau pelanggan sudah lama tidak datang, biasanya kami telepon untuk menanyakan. Tapi jawab mereka hampir sama, 'stok bata masih ada'. Kami tahu mereka bersekongkol untuk mendapatkan harga yang murah," keluh Mustofa. "Tapi kami tidak bisa apa-apa, soalnya kami yang membutuhkan mereka."

(Yermia Riezky)

No comments:

Post a Comment