12 Aug 2014

Kejayaan Singkat Batam Brickworks


Raja Ali Kelana memimpin perusahaan batu bata pada akhir 1800-an. Jadi tonggak awal industri di Batam karena dikelola secara modern. Namun redup karena tekanan Belanda.

AWAL Februari 2014 warga Desa Rantaukasih di Kecamatan Lawangwetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan menemukan sebuah bunker. Menurut ahli dari Balai Arkeologi Palembang, bunker tersebut dibangun pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Bunker itu dibangun menggunakan batu bata. Beberapa batu bata tercecer di sekitar lokasi penemuan bunker. Ukurannya lebih besar ketimbang batu bata yang ada saat ini.

Pada bagian tengah salah satu sisinya ditandai dengan tulisan BATAM yang ditekan ke dalam. Ahli mengungkapkan, batu bata tersebut merupakan produksi perusahaan pembuat batu bata asal Singapura Batam Brickworks. Perusahaan itu didirikan oleh Raja Ali Kelana dari Kerajaan Riau-Lingga yang bekerja dengan pengusaha Singapura bernama Ong Sam Leong di akhir 1800-an.

Pabrik batu bata Batam Brickworks yang berlokasi di Pulau Batam memang memproduksi batu bata berkualitas tinggi pada akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke-20. Setelah berjalan beberapa tahun, usaha tersebut mengalami masa surut sehingga Raja Ali Kelana membeli seluruh pemilikan perusahaan dari tangan Ong Sam Leong pada 1896.

Sejarawan asal Kepulauan Riau Aswandi Syahri mengungkapkan setelah Raja Ali Kelana menjadi pemilik tunggal, kondisi perusahaan batu bata itu membaik. Keadaan itu juga disokong dengan keputusan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf yang menyerahkan sejumlah kawasan tertentu di Pulau Batam kepada anaknya, Raja Abdullah dan Raja Ali Kelana, serta saudaranya Raja Muhammad Thahir pada 26 Juli 1898.

Raja Ali Kelana mendapat lahan di wilayah Batu Haji, yang saat ini dikenal sebagai Batuaji. Di sanalah lokasi pabrik batu bata milik Raja Ali Kelana. "Lokasi pabrik itu saat ini telah berubah menjadi kawasan galangan kapal di belakang Sintai," kata Aswandi.

Di tangan Raja Ali Kelana, Batam Brickworks kemudian didaftarkan dan diiklankan ke dalam The Singapore and Strait Directory for 1901. Dalam daftar itu, Raja Allie (Raja Ali Kelana) disebutkan sebagai pemiliknya.

Sejak diiklankan, batu bata Batam Brickworks mulai dikenal dan menjadi perusahaan penghasil batu bata terbesar di Kepulauan Riau Lingga. Semakin banyak peminat tidak hanya dari Riau ñ Lingga. "Batu bata Batam dipasarkan hingga Malaysia dan Hanoi, Vietnam. Itu menunjukkan seperti apa kualitas batu bata Batam," ujar Aswandi.

Di Pulau Pinang, batu bata Batam memenangkan penghargaan Penang Agricultural Show pada 1901. Setahun kemudian kualitas batu bata Batam kembali mendapat penghargaan dalam Hanoi Exposition pada 1902 dan selanjutnya di 1903.

Salah satu kunci kesuksesan batu bata Batam Brickworks adalah bahan baku tanah yang banyak ditemukan di Batam. Menurut Aswandi, faktor lain yang meningkatkan popularitas batu bata itu adalah lokasi pabriknya dekat dengan jalur perdagangan yang ramai saat itu.

"Saat Belanda membuka pangkalan di Teluk Bulang, Selat Bulang menjadi jalur pelayaran yang ramai. Ini membantu mengenalkan batu bata Batam," kata Aswandi.

Di awal abad ke-20, kebutuhan batu bata di kawasan Melayu tinggi. Di Riau-Lingga sendiri, pembangunan terus berlangsung di antaranya gedung Mahkamah Besar dan Istana Laut di Penyengat.  

Sementara Singapura semakin berkembang. Batu bata Batam juga digunakan untuk membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana perkeretaapian di Sigapura dan negeri-negeri di semenanjung. Untungnya, Batam Brickworks merupakan industri pembuatan batu bata yang modern saat itu. Mereka memproduksi batu bata bakar sebanyak 30 ribu bata.

Aswandi menjelaskan, keberhasilan Raja Ali Kelana dalam mengembangkan Batam Brickworks adalah buah dari manajemen modern yang diterapkannya. Manajemen itu diendalikan dari kantor pusat dan depot yang berada di Singapura yang dipimpin oleh Said Syech al-Hadi, Said Omar bin Sahab, Sudin, Abdool Koodos, Tiang Pow, Abdul Latip, Abdul Hakim, dan beberapa orang lainnya. 

"Dan sudah tentu mereka didukung oleh pabrik dengan mesin-mesin modern pada zamannya di Pulau Batam," terang Aswandi.

Tingginya kebutuhan ini menguntungkan Raja Ali Kelana. Harga jual batu bata meningkat. Dari hasilnya, dia sanggup membeli dua kapal uap. Pada masa jayanya itu, Batam Brickworks menjadi perusahaan yang dikendalikan putra Melayu yang bergengsi. Keberadaannya diperhitungkan di kawasan Selat Malaka.

Enjin Batu

Aswandi mencatat, penduduk Batu Haji dan Pulau Bulang menyebut kawasan pabrik sebagai enjin Batu. Sebutan itu merujuk pada mesin uap yang digunakan untuk membuat batu bata. "Arsip dan peta-peta lama menyebutkan kawasan itu sebagai indjin batoe dalam bahasa Melayu atau steenebakkerij dalam bahasa Belanda," kata Aswandi.

"Orang-orang tua di Bulang masih sering menyebutkan kawasan enjin batu jika berbicara tentang pabrik batu bata Raja Ali Kelana," Aswandi menambahkan.

Batam Brickworks semakin masyur usai membeli mesin uap baru pada 1906. Pabrik itu mampu menghasilkan batu bata dengan kualitas terbaik di belahan timur. Batu bata Batam bahkan mampu menyaingi batu bata Skotlandia yang ketika itu juga digemari di Singapura.

Sayangnya masa keemasan Batam Brickworks tidak lama. Riak-riak perlahan muncul. Pada saat itu, produksi sempat berhenti beberapa tahun. Dalam laman Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional disebutkan, persoalan internal yang menyebabkan terhentinya produksi batu bata adalah persoalan keuangan. Sementara faktor luar yang memengaruhi adalah tekanan dan sabotase Belanda terhadap Raja Ali Kelana. Menurut Aswandi, tekanan tersebut terjadi karena aktivitas politik Raja Ali Kelana yang menentang penjajahan Belanda di Riau-Lingga.

Raja Ali kelana akhirnya memutuskan hijrah ke Johor. Hal tersebut ia lakukan untuk menghindari ancaman dan tekanan politik Belanda. Namun, sebelum ia pergi pada 1911, Raja Ali Kelana terlebih dulu menjual Batam Brickworks dan pabriknya kepada Sam Bee Brickworks. Perusahaan itu merupakan milik pengusaha Cina di Singapura. Penjualan itu diumumkan Sam Bee Brickworks dalam surat kabar The Strait Times di Singapura pada 10 Januari 1910.

Aswandi tidak memiliki catatan sampai kapan Sam Bee Brickworks beroperasi. "Kemungkinan sampai pertengahan abad 20," ujar Aswandi, tanpa memastikan waktunya. Dari temuan di Musi Banyuasin, terungkap, Jepang menggunakan batu bata Batam saat menduduki Indonesia di tahun 1942-1945.

Industri batu bata di Batam Brickworks milik Raja Ali Kelana merupakan tonggak awal Batam sebagai daerah industri. Ia sudah mengembangkan industri dengan produk terbaik di kawasan timur. Ini menjadikan Raja Ali Kelana sebagai putra Melayu yang disegani pada masa jaya Batam Bickworks.


(yermia riezky) 


*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014

No comments:

Post a Comment