Raja Ali Kelana
memimpin perusahaan batu bata pada akhir 1800-an. Jadi tonggak awal
industri di Batam karena dikelola secara modern. Namun redup karena
tekanan Belanda.
AWAL Februari 2014
warga Desa Rantaukasih di Kecamatan Lawangwetan, Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan menemukan sebuah bunker. Menurut ahli
dari Balai Arkeologi Palembang, bunker tersebut dibangun pada masa
pendudukan Jepang di Indonesia.
Bunker itu dibangun
menggunakan batu bata. Beberapa batu bata tercecer di sekitar lokasi
penemuan bunker. Ukurannya lebih besar ketimbang batu bata yang ada
saat ini.
Pada bagian tengah
salah satu sisinya ditandai dengan tulisan BATAM yang ditekan ke
dalam. Ahli mengungkapkan, batu bata tersebut merupakan produksi
perusahaan pembuat batu bata asal Singapura Batam Brickworks.
Perusahaan itu didirikan oleh Raja Ali Kelana dari Kerajaan
Riau-Lingga yang bekerja dengan pengusaha Singapura bernama Ong Sam
Leong di akhir 1800-an.
Pabrik batu bata
Batam Brickworks yang berlokasi di Pulau Batam memang memproduksi
batu bata berkualitas tinggi pada akhir abad 19 hingga pertengahan
abad ke-20. Setelah berjalan beberapa tahun, usaha tersebut mengalami
masa surut sehingga Raja Ali Kelana membeli seluruh pemilikan
perusahaan dari tangan Ong Sam Leong pada 1896.
Sejarawan asal
Kepulauan Riau Aswandi Syahri mengungkapkan setelah Raja Ali Kelana
menjadi pemilik tunggal, kondisi perusahaan batu bata itu membaik.
Keadaan itu juga disokong dengan keputusan Yang Dipertuan Muda Riau
Raja Muhammad Yusuf yang menyerahkan sejumlah kawasan tertentu di
Pulau Batam kepada anaknya, Raja Abdullah dan Raja Ali Kelana, serta
saudaranya Raja Muhammad Thahir pada 26 Juli 1898.
Raja Ali Kelana
mendapat lahan di wilayah Batu Haji, yang saat ini dikenal sebagai
Batuaji. Di sanalah lokasi pabrik batu bata milik Raja Ali Kelana.
"Lokasi pabrik itu saat ini telah berubah menjadi kawasan
galangan kapal di belakang Sintai," kata Aswandi.
Di tangan Raja Ali
Kelana, Batam Brickworks kemudian didaftarkan dan diiklankan ke dalam
The Singapore and Strait Directory for 1901. Dalam daftar itu, Raja
Allie (Raja Ali Kelana) disebutkan sebagai pemiliknya.
Sejak diiklankan,
batu bata Batam Brickworks mulai dikenal dan menjadi perusahaan
penghasil batu bata terbesar di Kepulauan Riau Lingga. Semakin banyak
peminat tidak hanya dari Riau ñ Lingga. "Batu bata Batam
dipasarkan hingga Malaysia dan Hanoi, Vietnam. Itu menunjukkan
seperti apa kualitas batu bata Batam," ujar Aswandi.
Di Pulau Pinang,
batu bata Batam memenangkan penghargaan Penang Agricultural Show pada
1901. Setahun kemudian kualitas batu bata Batam kembali mendapat
penghargaan dalam Hanoi Exposition pada 1902 dan selanjutnya di
1903.
Salah satu kunci
kesuksesan batu bata Batam Brickworks adalah bahan baku tanah yang
banyak ditemukan di Batam. Menurut Aswandi, faktor lain yang
meningkatkan popularitas batu bata itu adalah lokasi pabriknya dekat
dengan jalur perdagangan yang ramai saat itu.
"Saat Belanda
membuka pangkalan di Teluk Bulang, Selat Bulang menjadi jalur
pelayaran yang ramai. Ini membantu mengenalkan batu bata Batam,"
kata Aswandi.
Di awal abad ke-20,
kebutuhan batu bata di kawasan Melayu tinggi. Di Riau-Lingga sendiri,
pembangunan terus berlangsung di antaranya gedung Mahkamah Besar dan
Istana Laut di Penyengat.
Sementara Singapura semakin berkembang.
Batu bata Batam juga digunakan untuk membangun gedung-gedung
pemerintahan dan sarana perkeretaapian di Sigapura dan negeri-negeri
di semenanjung. Untungnya, Batam Brickworks merupakan industri
pembuatan batu bata yang modern saat itu. Mereka memproduksi batu
bata bakar sebanyak 30 ribu bata.
Aswandi menjelaskan,
keberhasilan Raja Ali Kelana dalam mengembangkan Batam Brickworks
adalah buah dari manajemen modern yang diterapkannya. Manajemen itu
diendalikan dari kantor pusat dan depot yang berada di Singapura yang
dipimpin oleh Said Syech al-Hadi, Said Omar bin Sahab, Sudin, Abdool
Koodos, Tiang Pow, Abdul Latip, Abdul Hakim, dan beberapa orang
lainnya.
"Dan sudah tentu mereka didukung oleh pabrik dengan
mesin-mesin modern pada zamannya di Pulau Batam," terang
Aswandi.
Tingginya kebutuhan
ini menguntungkan Raja Ali Kelana. Harga jual batu bata meningkat.
Dari hasilnya, dia sanggup membeli dua kapal uap. Pada masa jayanya
itu, Batam Brickworks menjadi perusahaan yang dikendalikan putra
Melayu yang bergengsi. Keberadaannya diperhitungkan di kawasan Selat
Malaka.
Enjin Batu
Aswandi mencatat,
penduduk Batu Haji dan Pulau Bulang menyebut kawasan pabrik sebagai
enjin Batu. Sebutan itu merujuk pada mesin uap yang digunakan untuk
membuat batu bata. "Arsip dan peta-peta lama menyebutkan kawasan
itu sebagai indjin batoe dalam bahasa Melayu atau steenebakkerij
dalam bahasa Belanda," kata Aswandi.
"Orang-orang
tua di Bulang masih sering menyebutkan kawasan enjin batu jika
berbicara tentang pabrik batu bata Raja Ali Kelana," Aswandi
menambahkan.
Batam Brickworks
semakin masyur usai membeli mesin uap baru pada 1906. Pabrik itu
mampu menghasilkan batu bata dengan kualitas terbaik di belahan
timur. Batu bata Batam bahkan mampu menyaingi batu bata Skotlandia
yang ketika itu juga digemari di Singapura.
Sayangnya masa
keemasan Batam Brickworks tidak lama. Riak-riak perlahan muncul. Pada
saat itu, produksi sempat berhenti beberapa tahun. Dalam laman
Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional disebutkan, persoalan
internal yang menyebabkan terhentinya produksi batu bata adalah
persoalan keuangan. Sementara faktor luar yang memengaruhi adalah
tekanan dan sabotase Belanda terhadap Raja Ali Kelana. Menurut
Aswandi, tekanan tersebut terjadi karena aktivitas politik Raja Ali
Kelana yang menentang penjajahan Belanda di Riau-Lingga.
Raja Ali kelana
akhirnya memutuskan hijrah ke Johor. Hal tersebut ia lakukan untuk
menghindari ancaman dan tekanan politik Belanda. Namun, sebelum ia
pergi pada 1911, Raja Ali Kelana terlebih dulu menjual Batam
Brickworks dan pabriknya kepada Sam Bee Brickworks. Perusahaan itu
merupakan milik pengusaha Cina di Singapura. Penjualan itu diumumkan
Sam Bee Brickworks dalam surat kabar The Strait Times di Singapura
pada 10 Januari 1910.
Aswandi tidak
memiliki catatan sampai kapan Sam Bee Brickworks beroperasi.
"Kemungkinan sampai pertengahan abad 20," ujar Aswandi,
tanpa memastikan waktunya. Dari temuan di Musi Banyuasin, terungkap,
Jepang menggunakan batu bata Batam saat menduduki Indonesia di tahun
1942-1945.
Industri batu bata
di Batam Brickworks milik Raja Ali Kelana merupakan tonggak awal
Batam sebagai daerah industri. Ia sudah mengembangkan industri dengan
produk terbaik di kawasan timur. Ini menjadikan Raja Ali Kelana
sebagai putra Melayu yang disegani pada masa jaya Batam Bickworks.
(yermia riezky)
*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014
No comments:
Post a Comment