16 Aug 2014
Pengaruh istana dalam kehidupan sastra Raja Ali Haji
Raja Ali Haji tumbuh dalam lingkungan dengan budaya tulis menulis yang berakar kuat. Pembuatan naskah menjadi tradisi istana. Van der Putten dan Al Azhar dalam bukunya Dalam Perbekalan Persahabatan: Surat-Surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall menuliskan, para penulis dalam kerajaan Melayu khususnya di Pulau Penyengat membuat dan menyalin karya-karya berupa hikayat, syair, jenis prosa dan puisi Melayu yang membahas berbagai topik sebagai sarana hiburan dan pembelajaran bagi masyarakat.
Dalam keluarga Ali Haji, keluarganya menjadi salah satu pendorong utama.
"Besar kemungkinan Raja Ali Haji terdorong untuk menulis karena ayahnya juga gemar menulis. Ayahnya juga memiliki koleksi-koleksi bacaan yang dapat memancing minat Raja Ali Haji pada kegiatan menulis," kata Aswandi yang ditemui di Tanjungpinang, Rabu pekan lalu.
Sebagai orang dalam istana, Raja Ali Haji mendapatkan pendidikan yang didapat anak-anak penghuni istana. Ulama-ulama yang datang ke Penyengat tidak saja menjadi sumber memahami agama Islam, tapi oleh Raja Ali Haji kesempatan itu digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasinya.
Perjalanan ke Batavia dan Mekkah mendorong Ali Haji menuliskan pengalamannya di dua peristiwa itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafis. Perannya dalam pemerintahan dan ulama bagi masyarakat di Pulau Penyegat juga diyakini memberikan sumbangsih pada produktivitas Raja Ali Haji. Gurindam Dua Belas, misalnya, menerangkan ajaran-ajaran moral yang berguna dalam hubungan sesama manusia atau antar manusia dengan Tuhannya. Sementara Thamra Tu Al-Muhammadiyafa menegaskan peran seorang raja yang jika tidak memerhatikan kebutuhan masyarakatnya tak dapat diterima sebagai penguasa lagi.
Selain tradisi tulis menulis telah berakar di Pulau Penyengat, dorongan menghasilkan karya-karya tulis baik yang asli maupun salinan turut dipicu ketertarikan Belanda terhadap alam Melayu yang makin bertumbuh. Pemerintah Belanda kemudian membentuk Departemen Urusan Pribumi. Menurut Van der Putten dan Al Azhar, departemen itu bertugas mengumpulkan bahan-bahan tentang bahasa setempat.
Bahasa Melayu mendapat tempat utama bagi Belanda. Naskah-naskah Melayu diperlukan sebagai bantuan bahan ajar pegawai pemerintahan di Hindia-Belanda. Ini membuat Residen Riau sibuk mencari bahan-bahan tentang masyarakat dalam lingkungan Kerajaan Riau-Lingga. Pada 1822-1826 misalnya, Residen Von Ranzow mengumpulkan dan menyusun silsilah keluarga diraja Riau. Sementara Residen Elout (1826-1830) mengupah beberapa juru tulis Melayu untuk menyalin naskah di kantornya di Tanjungpinang.
"Puncak kegiatan pengumpulan naskah Melayu terjadi pada sekitar tahun 1860-an. Saat itu Von de Wall dan Klinkert mengumpulkan ratusan naskah untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan Melayu," tulis Van de Putten dan Al Azhar.(Yermia Riezky dan Fenny Ambaratih)
* Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos Edisi 45
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment