12 Aug 2014

Cerita Batam dalam Sepotong Bata (2) : Dari Singapura ke Gajah

LEBIH satu abad lalu, Batam pernah dikenal dengan produksi batu batanya. Adalah Raja Ali Kelana yang mengembangkan pabrik Batam Brickworks di wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Batuaji. Kantor perusahaan itu sendiri berlokasi di Singapura.

Batam memiliki tanah yang sesuai untuk membuat batu bata yang berkualitas. Bata dengan stempel 'BATAM' pada salah satu sisinya mengangkat nama Batam di kawasan Selat Malaka hingga negara-negara Asia Timur. Di Singapura, batu bata Batam bersaing ketat dengan batu bata Skotlandia yang juga menjadi favorit di negeri itu. Keberhasilan Raja Ali juga mengangkat martabat Kerajaan Melayu Riau-Lingga di bidang ekonomi kawasan.

Namun setelah lebih dari seabad sejak berakhirnya masa jaya Raja Ali Kelana di perusahaan Batam Brickworks pada 1910, tak ada lagi pembuat batu bata yang mengenal putra Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf. Para pembuat batu bata di Tanjungpiayu bahkan tidak pernah mendengar soal batu bata Batam ketika Batam Pos menceritakan kisah itu pada mereka.

Pembuat batu bata bukan lagi orang Melayu seperti Raja Ali Kelana dan jajaran manajemennya. Hampir seluruh pemilik dan pekerja usaha batu bata merah yang ada di Batam berasal dari Kecamatan Gajah, Demak, Jawa Tengah.

Menurut Mustofa, kedatangan warga Gajah pertama kali ke Batam terjadi pada tahun 1994. Mereka menetap di perkebunan di Mangsang. Saat itu, di daerah itu juga sudah dihuni oleh perantau asal Pacitan. "Sebelum itu, saya mendengar orang-orang Gajah sempat bermukim di Tanjungpinang sebelum ke Batam," kata Mustofa. Seperti perantau asal Gajah lainnya, ia melafalkan Gajah dengan sebutan Nggajah.

Salah satu pekerja pembuat bata, Supardi, mengatakan awalnya orang-orang Gajah yang datang ke Batam ingin membuat genteng. Namun kandungan pasir yang ada di dalam tanah yang digunakan sebagai bahan baku tidak lebih banyak dari jumlah yang disyaratkan untuk membuat genteng.
"Pasirnya lebih banyak. Tidak cocok untuk genteng. Akhirnya mereka membuat batu bata karena tanahnya masih sesuai meski mengandung sedikit pasir," kata Supardi.

Tidak ada yang tahu bagaimana awal mula perantau asal Gajah mendapat keterampilan membuat batu bata. Di sana, kebanyakan orang bekerja sebagai petani atau buruh tani. Mustofa memperkirakan, keterampilan itu diperoleh saat berada di Tanjungpinang, sebelum mereka hijrah ke Batam. Pekerja lain mengatakan, barangkali ada perantau yang pernah belajar membuat batu bata di Kudus. Namun banyak perantau yang datang ke Batam karena ingin kehidupan yang lebih baik.

"Di kampung saya tidak memiliki sawah, jadi saya bekerja sebagai buruh tani di sawah orang. Lama-kelamaan saya tidak mau bekerja seperti itu karena kerjaannya musiman, tidak setiap bulan kami bisa mendapatkan uang untuk makan," kata Sutriman. "Karena itu, saat ada yang menawari kerja di Batam, saya dan istri langsung berangkat di tahun 2007."

Buruh yang bekerja di pembuatan batu bata umumnya sudah berkeluarga. Pemilik usaha juga membutuhkan tenaga sang istri dalam pekerjaan itu. Perempuan biasanya mendapat pekerjaan mencetak tanah liat menjadi batu bata. "Perempuan lebih tekun dan cepat untuk bekerja seperti itu," kata Muslikan.

Sementara sang suami memiliki pekerjaan lebih banyak. Mereka yang mengumpulkan tanah dengan cangkul. Di Kampung Jawa mereka mencangkuli tanah di bukit. Tanah bisa diambil sampai lapisan padas yang masih berbentuk batu. Usai menumpuk tanah, mereka kemudian membasahi tanah tersebut dan menginjak-injaknya agar menghasilkan tanah liat yang akan dicetak pekerja perempuan.
Tanah liat yang telah dicetak bentuk batu bata kemudian dibawa ke pinggir-pinggir gudang untuk dikeringanginkan. Pembuat batu bata menyebut lokasi pembuatan batu bata dengan gudang. 

Bangunan itu seluruhnya dibangun dari kayu. Luasnya rata-rata sekitar 15x10 meter dengan tinggi sekitar enam meter. Atapnya berbentuk joglo yang dilapisi dengan asbes atau terpal karet.
Pemilik biasanya memiliki lebih dari satu gudang. Pasalnya, satu gudang digunakan sebagai tobong, gudang yang digunakan untuk membakar batu bata yang telah kering. Muslikan misalnya, memiliki tiga gudang. Masing-masing gudang digunakan satu keluarga untuk mencetak dan mengeringkan batu bata.

Batu bata yang telah dikeringkan kemudian disusun di tengah tobong untuk proses pembakaran. Butuh waktu dua bulan untuk mengumpulkan batu bata sebelum dibakar. Di tobong milik Muslikan, jumlah batu bata yang dibakar mencapai 125 ribu bata. Sementara di tempat Mustofa, tobongnya pernah memuat hingga 200 ribu bata. Saat Batam Pos datang ke gudangnya Rabu minggu lalu, ia hanya membakar 50 ribu bata. Jumlahnya jauh berkurang karena empat pekerjanya pulang ke Gajah untuk merayakan Idul Fitri.

Di usaha pembuatan bata, pekerja diupah berdasarkan jumlah batu yang dikerjakan. Satu batu dihargai Rp 100. Karena satu batu dikerjakan oleh keluarga, maka upah itu adalah upah keluarga. Satu keluarga setiap harinya.

Dalam sehari, satu keluarga bisa membuat 800ñ1.000 potong bata. Rata-rata setiap usaha yang dikerjakan secara manual menghasilkan sekitar 3.000 potong bata per hari.

Sebenarnya, pembuatan bata sudah bisa menggunakan mesin. Mesin itu menghasilkan 12 ribu potong bata per hari. Mesin itu digerakkan oleh solar. Lima liter solar seharga dengan dua hari pembuatan batu. Meski berlangsung lebih cepat, penggunaan mesin menciptakan persoalan lain. Pertama, persoalan bahan bakar. Dengan ketatnya peraturan pengisian bahan bakar solar di SPBU yang melarang pembelian menggunakan jeriken, pengguna mesin kesulitan membeli bahan bakar.

"Mereka yang menggunakan mesin harus meminjam atau menyewa mobil untuk diisi solar. Dari tangki mobil itu kita mendapatkan solar," kata Rokim, salah satu pekerja.

Selain itu, batu bata harus menunggu pengeringan oleh angin dan sinar matahari yang memakan waktu sekitar tiga hari sebelum disusun untuk dibakar.

Perbedaan utama hasil batu bata yang dicetak secara manual dengan yang menggunakan mesin terletak pada bentuk batanya. Cetakan manual menciptakan lekukan ke dalam pada salah satu sisinya. Sementara hasil cetakan mesin seluruh bagiannya rata. Pekerja yang mencetak bata secara manual mengklaim, bata yang memiliki lekuk lebih diminati tukang bangunan. "Lekuk itu membuat semen melekat semakin kuat," kata Mustopiah, istri Muslikan yang juga bekerja di gudang suaminya.

Selain upah mencetak batu, keluarga yang bekerja juga mendapatkan imbalan sebesar Rp18 ribu per 1.000 bata yang disusun sebelum di bakar. Upah tambahan lain diperoleh dari mengangkat 100 ribu potong bata ke lori. Untuk jasa itu, pekerja dibayar Rp 800 ribu.

Meski hitung-hitungan upahnya relatif tinggi, namun berbagai potongan kebutuhan rumah tangga membuat simpanan pekerja menyusut. Kebanyakan pengusaha batu bata menanggung keperluan rumah tangga pekerjanya. Makan dan kebutuhan rumah tangga lainnya disediakan oleh pemilik usaha. Namun pemilik akan memotong upah pekerja. "Sisa bersihnya paling hanya 10 ribu per hari," kata Sutriman.

Pekerja menerima upahnya setiap dua bulan usai pembakaran bata. Biasanya, pekerja akan meminta pemilik gudang untuk menyimpan upah bersih yang mereka. Pekerja jarang berbelanja keluar. "Kalau mereka mau belanja di luar, kami memberikan uang yang mereka butuhkan. Sisanya tetap kami simpan," kata Mustofa.

Sehari-hari para pekerja berkerja sejak pagi hinga sore hari. Dalam seminggu, mereka mendapat hari libur sehari. Beberapa kebiasan di Demak juga dipertahankan oleh pekerja, misalnya pembacaan surat Yasin setiap malam Jumat. Mereka baru pulang sekali dalam setahun hingga dua tahun. Namun jamak terjadi, begitu mereka kembali, mereka tidak lagi pindah ke pengusaha batu bata lainnya.

(Yermia Riezky)

Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete