LEBIH satu abad
lalu, Batam pernah dikenal dengan produksi batu batanya. Adalah Raja
Ali Kelana yang mengembangkan pabrik Batam Brickworks di wilayah yang
saat ini dikenal dengan nama Batuaji. Kantor perusahaan itu sendiri
berlokasi di Singapura.
Batam memiliki tanah
yang sesuai untuk membuat batu bata yang berkualitas. Bata dengan
stempel 'BATAM' pada salah satu sisinya mengangkat nama Batam di
kawasan Selat Malaka hingga negara-negara Asia Timur. Di Singapura,
batu bata Batam bersaing ketat dengan batu bata Skotlandia yang juga
menjadi favorit di negeri itu. Keberhasilan Raja Ali juga mengangkat
martabat Kerajaan Melayu Riau-Lingga di bidang ekonomi kawasan.
Namun setelah lebih
dari seabad sejak berakhirnya masa jaya Raja Ali Kelana di perusahaan
Batam Brickworks pada 1910, tak ada lagi pembuat batu bata yang
mengenal putra Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf. Para
pembuat batu bata di Tanjungpiayu bahkan tidak pernah mendengar soal
batu bata Batam ketika Batam Pos menceritakan kisah itu pada mereka.
Pembuat batu bata
bukan lagi orang Melayu seperti Raja Ali Kelana dan jajaran
manajemennya. Hampir seluruh pemilik dan pekerja usaha batu bata
merah yang ada di Batam berasal dari Kecamatan Gajah, Demak, Jawa
Tengah.
Menurut Mustofa,
kedatangan warga Gajah pertama kali ke Batam terjadi pada tahun 1994.
Mereka menetap di perkebunan di Mangsang. Saat itu, di daerah itu
juga sudah dihuni oleh perantau asal Pacitan. "Sebelum itu, saya
mendengar orang-orang Gajah sempat bermukim di Tanjungpinang sebelum
ke Batam," kata Mustofa. Seperti perantau asal Gajah lainnya, ia
melafalkan Gajah dengan sebutan Nggajah.
Salah satu pekerja
pembuat bata, Supardi, mengatakan awalnya orang-orang Gajah yang
datang ke Batam ingin membuat genteng. Namun kandungan pasir yang ada
di dalam tanah yang digunakan sebagai bahan baku tidak lebih banyak
dari jumlah yang disyaratkan untuk membuat genteng.
"Pasirnya lebih
banyak. Tidak cocok untuk genteng. Akhirnya mereka membuat batu bata
karena tanahnya masih sesuai meski mengandung sedikit pasir,"
kata Supardi.
Tidak ada yang tahu
bagaimana awal mula perantau asal Gajah mendapat keterampilan membuat
batu bata. Di sana, kebanyakan orang bekerja sebagai petani atau
buruh tani. Mustofa memperkirakan, keterampilan itu diperoleh saat
berada di Tanjungpinang, sebelum mereka hijrah ke Batam. Pekerja lain
mengatakan, barangkali ada perantau yang pernah belajar membuat batu
bata di Kudus. Namun banyak perantau yang datang ke Batam karena
ingin kehidupan yang lebih baik.
"Di kampung
saya tidak memiliki sawah, jadi saya bekerja sebagai buruh tani di
sawah orang. Lama-kelamaan saya tidak mau bekerja seperti itu karena
kerjaannya musiman, tidak setiap bulan kami bisa mendapatkan uang
untuk makan," kata Sutriman. "Karena itu, saat ada yang
menawari kerja di Batam, saya dan istri langsung berangkat di tahun
2007."
Buruh yang bekerja
di pembuatan batu bata umumnya sudah berkeluarga. Pemilik usaha juga
membutuhkan tenaga sang istri dalam pekerjaan itu. Perempuan biasanya
mendapat pekerjaan mencetak tanah liat menjadi batu bata. "Perempuan
lebih tekun dan cepat untuk bekerja seperti itu," kata
Muslikan.
Sementara sang suami
memiliki pekerjaan lebih banyak. Mereka yang mengumpulkan tanah
dengan cangkul. Di Kampung Jawa mereka mencangkuli tanah di bukit.
Tanah bisa diambil sampai lapisan padas yang masih berbentuk batu.
Usai menumpuk tanah, mereka kemudian membasahi tanah tersebut dan
menginjak-injaknya agar menghasilkan tanah liat yang akan dicetak
pekerja perempuan.
Tanah liat yang
telah dicetak bentuk batu bata kemudian dibawa ke pinggir-pinggir
gudang untuk dikeringanginkan. Pembuat batu bata menyebut lokasi
pembuatan batu bata dengan gudang.
Bangunan itu seluruhnya dibangun
dari kayu. Luasnya rata-rata sekitar 15x10 meter dengan tinggi
sekitar enam meter. Atapnya berbentuk joglo yang dilapisi dengan
asbes atau terpal karet.
Pemilik biasanya
memiliki lebih dari satu gudang. Pasalnya, satu gudang digunakan
sebagai tobong, gudang yang digunakan untuk membakar batu bata yang
telah kering. Muslikan misalnya, memiliki tiga gudang. Masing-masing
gudang digunakan satu keluarga untuk mencetak dan mengeringkan batu
bata.
Batu bata yang telah
dikeringkan kemudian disusun di tengah tobong untuk proses
pembakaran. Butuh waktu dua bulan untuk mengumpulkan batu bata
sebelum dibakar. Di tobong milik Muslikan, jumlah batu bata yang
dibakar mencapai 125 ribu bata. Sementara di tempat Mustofa,
tobongnya pernah memuat hingga 200 ribu bata. Saat Batam Pos datang
ke gudangnya Rabu minggu lalu, ia hanya membakar 50 ribu bata.
Jumlahnya jauh berkurang karena empat pekerjanya pulang ke Gajah
untuk merayakan Idul Fitri.
Di usaha pembuatan
bata, pekerja diupah berdasarkan jumlah batu yang dikerjakan. Satu
batu dihargai Rp 100. Karena satu batu dikerjakan oleh keluarga, maka
upah itu adalah upah keluarga. Satu keluarga setiap harinya.
Dalam sehari, satu
keluarga bisa membuat 800ñ1.000 potong bata. Rata-rata setiap usaha
yang dikerjakan secara manual menghasilkan sekitar 3.000 potong bata
per hari.
Sebenarnya,
pembuatan bata sudah bisa menggunakan mesin. Mesin itu menghasilkan
12 ribu potong bata per hari. Mesin itu digerakkan oleh solar. Lima
liter solar seharga dengan dua hari pembuatan batu. Meski berlangsung
lebih cepat, penggunaan mesin menciptakan persoalan lain. Pertama,
persoalan bahan bakar. Dengan ketatnya peraturan pengisian bahan
bakar solar di SPBU yang melarang pembelian menggunakan jeriken,
pengguna mesin kesulitan membeli bahan bakar.
"Mereka yang
menggunakan mesin harus meminjam atau menyewa mobil untuk diisi
solar. Dari tangki mobil itu kita mendapatkan solar," kata
Rokim, salah satu pekerja.
Selain itu, batu
bata harus menunggu pengeringan oleh angin dan sinar matahari yang
memakan waktu sekitar tiga hari sebelum disusun untuk dibakar.
Perbedaan utama
hasil batu bata yang dicetak secara manual dengan yang menggunakan
mesin terletak pada bentuk batanya. Cetakan manual menciptakan
lekukan ke dalam pada salah satu sisinya. Sementara hasil cetakan
mesin seluruh bagiannya rata. Pekerja yang mencetak bata secara
manual mengklaim, bata yang memiliki lekuk lebih diminati tukang
bangunan. "Lekuk itu membuat semen melekat semakin kuat,"
kata Mustopiah, istri Muslikan yang juga bekerja di gudang suaminya.
Selain upah mencetak
batu, keluarga yang bekerja juga mendapatkan imbalan sebesar Rp18
ribu per 1.000 bata yang disusun sebelum di bakar. Upah tambahan lain
diperoleh dari mengangkat 100 ribu potong bata ke lori. Untuk jasa
itu, pekerja dibayar Rp 800 ribu.
Meski
hitung-hitungan upahnya relatif tinggi, namun berbagai potongan
kebutuhan rumah tangga membuat simpanan pekerja menyusut. Kebanyakan
pengusaha batu bata menanggung keperluan rumah tangga pekerjanya.
Makan dan kebutuhan rumah tangga lainnya disediakan oleh pemilik
usaha. Namun pemilik akan memotong upah pekerja. "Sisa bersihnya
paling hanya 10 ribu per hari," kata Sutriman.
Pekerja menerima
upahnya setiap dua bulan usai pembakaran bata. Biasanya, pekerja akan
meminta pemilik gudang untuk menyimpan upah bersih yang mereka.
Pekerja jarang berbelanja keluar. "Kalau mereka mau belanja di
luar, kami memberikan uang yang mereka butuhkan. Sisanya tetap kami
simpan," kata Mustofa.
Sehari-hari para
pekerja berkerja sejak pagi hinga sore hari. Dalam seminggu, mereka
mendapat hari libur sehari. Beberapa kebiasan di Demak juga
dipertahankan oleh pekerja, misalnya pembacaan surat Yasin setiap
malam Jumat. Mereka baru pulang sekali dalam setahun hingga dua
tahun. Namun jamak terjadi, begitu mereka kembali, mereka tidak lagi
pindah ke pengusaha batu bata lainnya.
(Yermia Riezky)
Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete