12 Aug 2014

Cerita Batam dalam Sepotong Bata (3-habis) : Bedol Desa Ke Piayu Laut

SORE itu Mustofa sedang bersantai di tempat tidur gantung yang dikaitkan di dua batang pohon. Ia sedang mengawasi proses pembakaran yang dilakukan di tobong miliknya. Di dekat tumpukan batu bata yang tengah dibakar. Pembakaran baru dimulai subuh hari itu. Mustofa dan pekerjanya harus menunggu dua malam lagi sebelum memadamkan api.

Proses pembakaran yang tuntas selama dua hari dibutuhkan agar batu bata terbakar merata. "Kalau belum dua hari dikhawatirkan batu bata yang di tengah tidak terbakar. Akibatnya batu bata itu gampang pecah," terang Mustofa.

Setelah datang ke Mangsang pada tahun 2000, Mustofa termasuk pekerja yang terkena gusuran proyek perumahan. Bersama dengan pekerja dan pengusaha yang terkena gusur, mereka kemudian pindah ke Piayu Laut. Pengusaha batu bata itu kemudian mencari lahan di Piayu Laut. Beberapa mendapatkan lahan dari kapling-kapling milik perusahaan yang belum dibangun. Lainnya, mendapatkan lahan dari Munir, Ketua RW di Kampung Tua Piayu Laut. Mustofa termasuk yang menyewa lahan dari Munir. Lokasi gudang dapat kelihatan di kiri kanan jalan dari Pancur menuju Kampung Tua Piayu Laut.

Lahan yang ditempati usaha batu bata memiliki topografi perbukitan. Usaha batu bata itu memang membawa dampak gundulnya sebagian perbukitan ke arah Piayu Laut. Pekerja mau tak mau mengupas bukit mengambil lapisan tanah, dan meninggalkan lapisan batu yang keras dan sukar ditumbuhi vegetasi.

Mereka beralasan, lahan-lahan itu sudah ada pemiliknya. Dan, kapan saja pemilik lahan akan membangun lahan itu, mereka harus siap digusur.

Mustofa membayar sewa sebesar Rp 1,5 juta sekali pembakaran. Itu dibayar setiap dua bulan. Ada model sewa lain yakni Rp 7 per potong batu bata yang dibakar. Buat Mustofa, metode pembayaran sewanya lebih murah ketimbang mebayar sewa per potong. "Kalau kami membakar banyak, sewa Rp 1,5 juta itu tidak terlalu memberatkan."

Bagaimana pemilik lahan tahu ada usaha yang sedang melakukan pembayaran? Menurut Mustofa, pemilik lahan memiliki berbagai cara. Misalnya mengirimkan orang untuk sekedar melihat apa yang sedang kami kerjakan.

"Api pembakaran juga keliatan dari jauh, makanya mereka tahu kalau ada yang sedang melakukan pembakaran," ujar Sri, suami Mustofa.

Mustofa membangun tiga gudangnya pada 2002. Dua tahun setelahnya Muslikan juga membangun tiga gudang untuk usahanya. Rata-rata di Kampung Jawa pemilik usaha membangun gudang sekitar 2002 - 2004.

Menjadi pemilik gudang bararti mengurangi frekuensi kerja berat. Pekerjaan itu berganti menjadi pengantar batu bata atau mencari langganan. Meski demikian, bukan berarti pemilik gudang meraup untung yang besar.

Seperti pekerja, mereka baru mendapatkan uang dua bulan sekali setelah pembakaran. Harga batu bata saat ini berkisar antara Rp 300 - Rp 350 per potong. Jika mampu menghasilkan 100 ribu potong batu, hasil penjualan yang diperoleh berkisar Rp 30 juta - Rp 35 juta.

Jumlah itu hanya perhitungan kasar. Karena dalam sebulan pemilik harus memperhitungkan upah keluarga pekerja sekitar Rp 2,5 juta per keluarga. Mereka juga masih harus membayar sewa lahan kepada pemilik lahan. Pengeluaran lain adalah pembelian kayu yang saat ini mencapai Rp 550 ribu per lori. Dibutuhkan 10 lori untuk menjaga api tetap menyala selama dua hari. Biaya belum termasuk jika ada terpal yang rusak.

Kebutuhan itu membuat keuntungan para pemilik tidak besar-besar amat. Karena itu tidak banyak pekerja yang berani membuka usaha batu bata sendiri. Jika membangun saat ini, biaya yang dikeluarkan relatif besar. Biaya sewa lahan saja mencapai Rp 50 juta. Harga itu termasuk besar meski biaya itu hanya dikeluarkan sekali selama beroperasi dan dapat dicicil dua kali. Di samping itu, pemilik usaha kesulitan mencari pekerja karena banyak orang Gajah yang pulang kampung dan menetap di kampung dalam waktu yang tak bisa ditentukan sebelum kembali ke Batam.

Mustofa menceritakan, pernah ada seorang Cina pemilik toko bangunan yang ingin mendirikan usaha pembuatan batu bata. Orang itu berpikir akan menangguk keuntungan besar jika memiliki sendiri usaha batu bata. Tidak lama usaha itu berjalan, usaha itu bangkrut.

"Pengusaha itu tidak memikirkan banyak pengeluaran yang harus dipenuhi untuk membangun usaha itu," kata Mustofa.

Usaha batu bata kini menghadapi tantangan dari penjualan batako dan bata silikon yang dibuat menggunakan pengeras. Di toko-toko bangunan, harga batu bata merah masih lebih murah daripada batako. Batu bata dijual seharga Rp 480, sementara batako ijual seharga Rp 1.600. Meski batako lebih mahal, pemborong umumnya menggunakan batako untuk proyek hunian sederhana atau sangat sederhana.

"Ukuran batako lebih besar ketimbang batu bata. Kalau menggunakan batako, pemborong lebih banyak untung," kata Supardi.

Mustofa dan pengusaha batu bata lainnya akan melewati masa minim pesanan. Karena jumlah proyek pembangunan menurun selama puasa dan lebaran, pesanan batu bata akan menurun selama masa itu. Namun mereka berharap penurunan itu tidak berlangsung lama dan tidak memengaruhi harga jual di tingkat produsen.

Saat ini, harga di tingkat produsen bertahan di kisaran Rp 300. Jika batu bata sedang laku, harganya bisa mencapai Rp 350 - Rp 400. Namun jika permintaan menurun, harga batu bata bisa mencapai Rp 250. Pelaku usaha ini berharap kejadian tahun 2004 ñ 2006 tidak lagi terulang. Saat itu, permintaan merosot sehingga harga batu bata hanya Rp 190.

"Saat itu banyak gudang yang tutup karena tidak mampu membayar pekerja. Saya bisa bertahan karena pembuatannya saya kerjakan sendiri," kenang Mustofa.

Kejadian itu nyatanya tidak berpengaruh pada industri batu bata. Perantau dari Gajah kembali ke Batam untuk bekerja di gudang-gudang pembuatan batu bata. Bata-bata merah inilah yang mengokohkan dinding-dinding rumah mewah bertingkat. Dinding gedung-gedung tinggi juga mengandalkan bata merah meski kini harus bersaing ketat dengan bata silikon.

Sambil berharap usahanya tetap terus bertahan, Mustofa dan pengusaha bata merah lainnya setia membakar bata merah di tobong-tobong mereka. Doa dan permohonan pun dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Di samping itu, Mustofa kerap memberikan sesajen berisi telur, bawang merah, cabe merah, dan bubur merah tiap kali ia membakar bata merah. Empat sajen ia letakkan di keempat pojok tobong. Kadang, di tengah proses pembakaran terdengan bunyi cangkang telur yang pecah. Dalam pikiran Mustofa, penunggu tobong itu sedang menikmati sesajen yang diberikan Mustofa.

Pernah sekali Mustofa sengaja tidak memberikan sesajen saat akan membakar bata. Ia mencoba menolak tahayul yang cukup lama merasukinya. Hasilnya, ada 7 ribu batu batanya yang rusak karena tidak matang terbakar. Sejak itu ia kembali memberikan sesajen tiap kali membakar.


"Aneh memang. Percaya enggak percaya, tapi kenyataannya seperti itu," timpal istri Mustofa, Sri.

(Yermia Riezky)

Pernah dimuat di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete