SORE itu Mustofa
sedang bersantai di tempat tidur gantung yang dikaitkan di dua batang
pohon. Ia sedang mengawasi proses pembakaran yang dilakukan di tobong
miliknya. Di dekat tumpukan batu bata yang tengah dibakar. Pembakaran
baru dimulai subuh hari itu. Mustofa dan pekerjanya harus menunggu
dua malam lagi sebelum memadamkan api.
Proses pembakaran
yang tuntas selama dua hari dibutuhkan agar batu bata terbakar
merata. "Kalau belum dua hari dikhawatirkan batu bata yang di
tengah tidak terbakar. Akibatnya batu bata itu gampang pecah,"
terang Mustofa.
Setelah datang ke
Mangsang pada tahun 2000, Mustofa termasuk pekerja yang terkena
gusuran proyek perumahan. Bersama dengan pekerja dan pengusaha yang
terkena gusur, mereka kemudian pindah ke Piayu Laut. Pengusaha batu
bata itu kemudian mencari lahan di Piayu Laut. Beberapa mendapatkan
lahan dari kapling-kapling milik perusahaan yang belum dibangun.
Lainnya, mendapatkan lahan dari Munir, Ketua RW di Kampung Tua Piayu
Laut. Mustofa termasuk yang menyewa lahan dari Munir. Lokasi gudang
dapat kelihatan di kiri kanan jalan dari Pancur menuju Kampung Tua
Piayu Laut.
Lahan yang ditempati
usaha batu bata memiliki topografi perbukitan. Usaha batu bata itu
memang membawa dampak gundulnya sebagian perbukitan ke arah Piayu
Laut. Pekerja mau tak mau mengupas bukit mengambil lapisan tanah, dan
meninggalkan lapisan batu yang keras dan sukar ditumbuhi vegetasi.
Mereka beralasan,
lahan-lahan itu sudah ada pemiliknya. Dan, kapan saja pemilik lahan
akan membangun lahan itu, mereka harus siap digusur.
Mustofa membayar
sewa sebesar Rp 1,5 juta sekali pembakaran. Itu dibayar setiap dua
bulan. Ada model sewa lain yakni Rp 7 per potong batu bata yang
dibakar. Buat Mustofa, metode pembayaran sewanya lebih murah
ketimbang mebayar sewa per potong. "Kalau kami membakar banyak,
sewa Rp 1,5 juta itu tidak terlalu memberatkan."
Bagaimana pemilik
lahan tahu ada usaha yang sedang melakukan pembayaran? Menurut
Mustofa, pemilik lahan memiliki berbagai cara. Misalnya mengirimkan
orang untuk sekedar melihat apa yang sedang kami kerjakan.
"Api pembakaran
juga keliatan dari jauh, makanya mereka tahu kalau ada yang sedang
melakukan pembakaran," ujar Sri, suami Mustofa.
Mustofa membangun
tiga gudangnya pada 2002. Dua tahun setelahnya Muslikan juga
membangun tiga gudang untuk usahanya. Rata-rata di Kampung Jawa
pemilik usaha membangun gudang sekitar 2002 - 2004.
Menjadi pemilik
gudang bararti mengurangi frekuensi kerja berat. Pekerjaan itu
berganti menjadi pengantar batu bata atau mencari langganan. Meski
demikian, bukan berarti pemilik gudang meraup untung yang besar.
Seperti pekerja,
mereka baru mendapatkan uang dua bulan sekali setelah pembakaran.
Harga batu bata saat ini berkisar antara Rp 300 - Rp 350 per potong.
Jika mampu menghasilkan 100 ribu potong batu, hasil penjualan yang
diperoleh berkisar Rp 30 juta - Rp 35 juta.
Jumlah itu hanya
perhitungan kasar. Karena dalam sebulan pemilik harus memperhitungkan
upah keluarga pekerja sekitar Rp 2,5 juta per keluarga. Mereka juga
masih harus membayar sewa lahan kepada pemilik lahan. Pengeluaran
lain adalah pembelian kayu yang saat ini mencapai Rp 550 ribu per
lori. Dibutuhkan 10 lori untuk menjaga api tetap menyala selama dua
hari. Biaya belum termasuk jika ada terpal yang rusak.
Kebutuhan itu
membuat keuntungan para pemilik tidak besar-besar amat. Karena itu
tidak banyak pekerja yang berani membuka usaha batu bata sendiri.
Jika membangun saat ini, biaya yang dikeluarkan relatif besar. Biaya
sewa lahan saja mencapai Rp 50 juta. Harga itu termasuk besar meski
biaya itu hanya dikeluarkan sekali selama beroperasi dan dapat
dicicil dua kali. Di samping itu, pemilik usaha kesulitan mencari
pekerja karena banyak orang Gajah yang pulang kampung dan menetap di
kampung dalam waktu yang tak bisa ditentukan sebelum kembali ke
Batam.
Mustofa
menceritakan, pernah ada seorang Cina pemilik toko bangunan yang
ingin mendirikan usaha pembuatan batu bata. Orang itu berpikir akan
menangguk keuntungan besar jika memiliki sendiri usaha batu bata.
Tidak lama usaha itu berjalan, usaha itu bangkrut.
"Pengusaha itu
tidak memikirkan banyak pengeluaran yang harus dipenuhi untuk
membangun usaha itu," kata Mustofa.
Usaha batu bata kini
menghadapi tantangan dari penjualan batako dan bata silikon yang
dibuat menggunakan pengeras. Di toko-toko bangunan, harga batu bata
merah masih lebih murah daripada batako. Batu bata dijual seharga Rp
480, sementara batako ijual seharga Rp 1.600. Meski batako lebih
mahal, pemborong umumnya menggunakan batako untuk proyek hunian
sederhana atau sangat sederhana.
"Ukuran batako
lebih besar ketimbang batu bata. Kalau menggunakan batako, pemborong
lebih banyak untung," kata Supardi.
Mustofa dan
pengusaha batu bata lainnya akan melewati masa minim pesanan. Karena
jumlah proyek pembangunan menurun selama puasa dan lebaran, pesanan
batu bata akan menurun selama masa itu. Namun mereka berharap
penurunan itu tidak berlangsung lama dan tidak memengaruhi harga jual
di tingkat produsen.
Saat ini, harga di
tingkat produsen bertahan di kisaran Rp 300. Jika batu bata sedang
laku, harganya bisa mencapai Rp 350 - Rp 400. Namun jika permintaan
menurun, harga batu bata bisa mencapai Rp 250. Pelaku usaha ini
berharap kejadian tahun 2004 ñ 2006 tidak lagi terulang. Saat itu,
permintaan merosot sehingga harga batu bata hanya Rp 190.
"Saat itu
banyak gudang yang tutup karena tidak mampu membayar pekerja. Saya
bisa bertahan karena pembuatannya saya kerjakan sendiri," kenang
Mustofa.
Kejadian itu
nyatanya tidak berpengaruh pada industri batu bata. Perantau dari
Gajah kembali ke Batam untuk bekerja di gudang-gudang pembuatan batu
bata. Bata-bata merah inilah yang mengokohkan dinding-dinding rumah
mewah bertingkat. Dinding gedung-gedung tinggi juga mengandalkan bata
merah meski kini harus bersaing ketat dengan bata silikon.
Sambil berharap
usahanya tetap terus bertahan, Mustofa dan pengusaha bata merah
lainnya setia membakar bata merah di tobong-tobong mereka. Doa dan
permohonan pun dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Di samping itu,
Mustofa kerap memberikan sesajen berisi telur, bawang merah, cabe
merah, dan bubur merah tiap kali ia membakar bata merah. Empat sajen
ia letakkan di keempat pojok tobong. Kadang, di tengah proses
pembakaran terdengan bunyi cangkang telur yang pecah. Dalam pikiran
Mustofa, penunggu tobong itu sedang menikmati sesajen yang diberikan
Mustofa.
Pernah sekali
Mustofa sengaja tidak memberikan sesajen saat akan membakar bata. Ia
mencoba menolak tahayul yang cukup lama merasukinya. Hasilnya, ada 7
ribu batu batanya yang rusak karena tidak matang terbakar. Sejak itu
ia kembali memberikan sesajen tiap kali membakar.
"Aneh memang.
Percaya enggak percaya, tapi kenyataannya seperti itu," timpal
istri Mustofa, Sri.
(Yermia Riezky)
Pernah dimuat di Majalah Batam Pos, 29 Juni 2014
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete