13 Aug 2014

Raja Ali Haji, Peletak Dasar Tata Bahasa Melayu




Jika Anda mencari tahu siapa Raja Ali Haji, banyaklah julukan yang akan ditemukan. Ia adalah ulama, ahli sejarah, pujangga, penyair, dan Bapak Bahasa Indonesia yang mendapat gelar pahlawan Nasional 10 November tahun 2004 lalu. Namun sampai manakah orang Indonesia mengingat tokoh yang sudah wafat ratusan tahun silam ini?

Satu hari pada 1822...

Satu rombongan dari Kerajaan Riau-Lingga tiba di Batavia. Pemimpin rombongan itu, Raja Ahmad datang membawa istri dan dua orang anaknya, Raja Ali dan Raja Muhammad. Rencananya, rombongan yang berlayar jauh dari Pulau Penyengat akan menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron den Capellen. Sebuah urusan penting membawa rombongan penasihat Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga menemui Gubernur Jenderal Capellen.

Kunjungan yang berlangsung selama tiga bulan itu tak hanya bermuatan politis. Keluarga Raja Ahmad meluangkan waktu untuk mengamati apa yang mereka temui di sana. Perjalanan tak berlangsung membosankan karena mereka ditemani oleh Christiaan van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pibumi pada pemerintahan Hindia Belanda.

Raja Ali yang berumur sekitar 13 tahun ketika itu berkenalan dengan beberapa orang Belanda yang dapat berbahasa melayu dengan baik. Mereka mengunjungi Bogor, menonton pertunjukan kesenian dan opera, serta mengunjungi ulama ternama. Salah satu yang paling diingat oleh Raja Ali adalah kunjungannya ke gedung opera Scouwburg yang kini dikenal dengan Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta.

Perjalanan Raja Ali keluar Pulau Penyengat pada masa remajanya tak hanya saat keluarganya berangkat ke Batavia. Di usianya yang ke-19, ia mengikuti ayahnya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Rombongan calon haji Riau-Lingga cukup besar. Selain Raja Ahmad dan Raja Ali, turut pula Said Abdullah, Said Hamid, dan dua pegawai Kerajaan Riau-Lingga Khatib Abdulrahman dan Bilal Abdullah.

Tak hanya itu, turut juga Haji Abdul Jamil yang merupakan putra Haji Abdul Wahab guru besar Raja Ahmad dan Engku Putri dari Minangkabau, Encik Muhammad Saleh yang merupakan putra Encik Abu Bakar guru Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar saat belajar Al Quran di Trengganu. Ikut pula dalam rombongan Muhammad bin Encik Makmur, Ahmad bin Encik Makmur dan seorang pegawai masjid asal Jawa bernama Ismail. Perjalanan mereka bermodalkan uang 10 ringgit pemberian Engku Putri ditambah 14 ribu ringgit uang yang diperoleh Raja Ahmad saat ia sendiri berniaga ke Pulau Jawa.

Setibanya di Jeddah, rombongan itu disambut oleh sejumlah Syekd Haji, di sana mereka dikenal dengan Mutawwif. Para Syekh menawarkan jasa sebagai pemandu, menyediakan akomodasi dan hal-hal pendukung selama di Tanah Suci. Raja Ahmad memilih Syekh Ahmad Msyafi yang memandu mereka selama menunaikan ibadah haji. Salah satu alasannya, Syekh Ahmad merupakan keturunan hamba tua dan Bugis 40 hamba laki-laki pengiring Daeng Marewa di Riau.

Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Raja Ahmad kemudian dikenal dengan nama Engku Haji Tua, sedangkan anaknya Raja Ali sepulangnya dari Mekah dipanggil Raja Ali Haji.

Dua perjalanan itu sangat berkesan bagi Raja Ali Haji. Ia kemudian secara rinci menulis perjalanan itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafis (Bingkisan Berharga) yang menceritakan tentang sejarah Melayu. Dalam karya yang sebagian juga ditulis oleh Raja Ahmad itu, Ali Haji menceritakan, kepulangan mereka juga membawa hadiah yang diterima rombongan termasuk dua budak asal Afrika dari bangsa Habsy dan seoang Bangsa Nubi. Kisah itu sempat membangkitkan pertanyaan sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, "Apakah ada keturunan orang Habsy dan Nubi di Pulau Penyengat?"

Tuhfat Al-Nafis merupakan salah satu karya yang lahir dari tangan Raja Ali Haji. Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, I Nyoman Veda Kusuma dalam tulisannya Raja Ali Haji: Tokoh Bahasa dan Sastra Melayu Abad XIX mengatakan, berdasarkan katalog Van Ronkel yang tersimpan di Museum Jakarta, Ali Haji memiliki tujuh karya yang dikenal. Selain Tuhfat Al-Nafis, Ali Haji juga menulis Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya, Gurindam Dua Belas, Bustan Al-Kantibin, Nasihat, Syair Abdul Muluk, dan Thamra Tu Al-Muhammadiyafa. Dari ketujuh karyanya, Gurindam Dua Belas yang paling sering terdengar di kalangan umum. Lainnya beredar dan dipelajari para penggiat sastra dan sejarah.

Karya-karya Raja Ali Haji terkenal karena mampu melampaui zaman. Aswandi menyebut Gurindam Dua Belas sebagai karya yang aktual sepanjang zaman karena keluasan dan kedalaman kandungan isinya. Sementara pada zaman Ali Haji, Eliza Netscher yang menerbitkan Gurindam Dua Belas mengatakan karya itu, "Sangat menyenangkan bagi telinga orang Eropa."

Dalam perjalanan, terungkap bahwa Ali Haji merupakan tokoh yang merintis penggunaan bahasa Melayu terstruktur. Ini membuat ia diminta Hermann von de Wall penyusun Kamus Bahasa Melayu -Belanda, untuk membantu penyusunan buku tersebut.

Jasanya di bidang bahasa dan sastra membuat Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Raja Ali Haji 9 tahun lalu. Ia dinobatkan bersamaan dengan Ismail Marzuki, Ahmad Rifai, Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, dan Gatot Mangkoepraja.

Gelar Pahlawan Nasional untuk Raja Ali Haji telah diusulkan Pemerintah Daerah Riau karena jasa-jasanya terhadap bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa nasional.Terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Anugerah ini membuat Ali Haji menjadi anggota kerajaan Riau-Lingga kedua setelah kakeknya, Raja Haji Fisabilillah yang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Raja Haji mendapatkannya pada 1997. (Yermia Riezky & Fanny Ambaratih 

*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos 10 November 2013

No comments:

Post a Comment