Jika
Anda mencari tahu siapa Raja Ali Haji, banyaklah julukan yang akan ditemukan.
Ia adalah ulama, ahli sejarah, pujangga, penyair, dan Bapak Bahasa Indonesia
yang mendapat gelar pahlawan Nasional 10 November tahun 2004 lalu. Namun sampai
manakah orang Indonesia mengingat tokoh yang sudah wafat ratusan tahun silam
ini?
Satu
hari pada 1822...
Satu
rombongan dari Kerajaan Riau-Lingga tiba di Batavia. Pemimpin rombongan itu,
Raja Ahmad datang membawa istri dan dua orang anaknya, Raja Ali dan Raja
Muhammad. Rencananya, rombongan yang berlayar jauh dari Pulau Penyengat akan
menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron
den Capellen. Sebuah urusan penting membawa rombongan penasihat Yang Dipertuan
Muda Kerajaan Riau-Lingga menemui Gubernur Jenderal Capellen.
Kunjungan
yang berlangsung selama tiga bulan itu tak hanya bermuatan politis. Keluarga
Raja Ahmad meluangkan waktu untuk mengamati apa yang mereka temui di sana.
Perjalanan tak berlangsung membosankan karena mereka ditemani oleh Christiaan
van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pibumi pada pemerintahan Hindia
Belanda.
Raja
Ali yang berumur sekitar 13 tahun ketika itu berkenalan dengan beberapa orang
Belanda yang dapat berbahasa melayu dengan baik. Mereka mengunjungi Bogor,
menonton pertunjukan kesenian dan opera, serta mengunjungi ulama ternama. Salah
satu yang paling diingat oleh Raja Ali adalah kunjungannya ke gedung opera
Scouwburg yang kini dikenal dengan Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta.
Perjalanan
Raja Ali keluar Pulau Penyengat pada masa remajanya tak hanya saat keluarganya
berangkat ke Batavia. Di usianya yang ke-19, ia mengikuti ayahnya berangkat ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Rombongan calon haji Riau-Lingga cukup
besar. Selain Raja Ahmad dan Raja Ali, turut pula Said Abdullah, Said Hamid,
dan dua pegawai Kerajaan Riau-Lingga Khatib Abdulrahman dan Bilal Abdullah.
Tak
hanya itu, turut juga Haji Abdul Jamil yang merupakan putra Haji Abdul Wahab
guru besar Raja Ahmad dan Engku Putri dari Minangkabau, Encik Muhammad Saleh
yang merupakan putra Encik Abu Bakar guru Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar saat
belajar Al Quran di Trengganu. Ikut pula dalam rombongan Muhammad bin Encik
Makmur, Ahmad bin Encik Makmur dan seorang pegawai masjid asal Jawa bernama
Ismail. Perjalanan mereka bermodalkan uang 10 ringgit pemberian Engku Putri
ditambah 14 ribu ringgit uang yang diperoleh Raja Ahmad saat ia sendiri
berniaga ke Pulau Jawa.
Setibanya
di Jeddah, rombongan itu disambut oleh sejumlah Syekd Haji, di sana mereka
dikenal dengan Mutawwif. Para Syekh menawarkan jasa sebagai pemandu,
menyediakan akomodasi dan hal-hal pendukung selama di Tanah Suci. Raja Ahmad
memilih Syekh Ahmad Msyafi yang memandu mereka selama menunaikan ibadah haji.
Salah satu alasannya, Syekh Ahmad merupakan keturunan hamba tua dan Bugis 40
hamba laki-laki pengiring Daeng Marewa di Riau.
Sepulang
dari menunaikan ibadah haji, Raja Ahmad kemudian dikenal dengan nama Engku Haji
Tua, sedangkan anaknya Raja Ali sepulangnya dari Mekah dipanggil Raja Ali Haji.
Dua
perjalanan itu sangat berkesan bagi Raja Ali Haji. Ia kemudian secara rinci
menulis perjalanan itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafis (Bingkisan Berharga) yang
menceritakan tentang sejarah Melayu. Dalam karya yang sebagian juga ditulis
oleh Raja Ahmad itu, Ali Haji menceritakan, kepulangan mereka juga membawa
hadiah yang diterima rombongan termasuk dua budak asal Afrika dari bangsa Habsy
dan seoang Bangsa Nubi. Kisah itu sempat membangkitkan pertanyaan sejarawan
Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, "Apakah ada keturunan orang Habsy dan Nubi
di Pulau Penyengat?"
Tuhfat
Al-Nafis merupakan salah satu karya yang lahir dari tangan Raja Ali Haji. Dosen
Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, I Nyoman Veda Kusuma dalam tulisannya
Raja Ali Haji: Tokoh Bahasa dan Sastra Melayu Abad XIX mengatakan, berdasarkan
katalog Van Ronkel yang tersimpan di Museum Jakarta, Ali Haji memiliki tujuh
karya yang dikenal. Selain Tuhfat Al-Nafis, Ali Haji juga menulis Silsilah
Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya, Gurindam Dua Belas, Bustan
Al-Kantibin, Nasihat, Syair Abdul Muluk, dan Thamra Tu Al-Muhammadiyafa. Dari
ketujuh karyanya, Gurindam Dua Belas yang paling sering terdengar di kalangan umum.
Lainnya beredar dan dipelajari para penggiat sastra dan sejarah.
Karya-karya
Raja Ali Haji terkenal karena mampu melampaui zaman. Aswandi menyebut Gurindam
Dua Belas sebagai karya yang aktual sepanjang zaman karena keluasan dan
kedalaman kandungan isinya. Sementara pada zaman Ali Haji, Eliza Netscher yang
menerbitkan Gurindam Dua Belas mengatakan karya itu, "Sangat menyenangkan
bagi telinga orang Eropa."
Dalam
perjalanan, terungkap bahwa Ali Haji merupakan tokoh yang merintis penggunaan
bahasa Melayu terstruktur. Ini membuat ia diminta Hermann von de Wall penyusun
Kamus Bahasa Melayu -Belanda, untuk membantu penyusunan buku tersebut.
Jasanya
di bidang bahasa dan sastra membuat Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Raja Ali Haji 9 tahun lalu. Ia dinobatkan bersamaan
dengan Ismail Marzuki, Ahmad Rifai, Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, dan
Gatot Mangkoepraja.
Gelar
Pahlawan Nasional untuk Raja Ali Haji telah diusulkan Pemerintah Daerah Riau
karena jasa-jasanya terhadap bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa
nasional.Terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku
Pedoman Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah
yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia.
Anugerah
ini membuat Ali Haji menjadi anggota kerajaan Riau-Lingga kedua setelah
kakeknya, Raja Haji Fisabilillah yang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Raja
Haji mendapatkannya pada 1997. (Yermia Riezky & Fanny Ambaratih)
*Pernah diterbitkan di Majalah Batam Pos 10 November 2013
No comments:
Post a Comment